Tuesday, December 14, 2010

PERUBAHAN SOSIAL DAN STRUKTUR SOSIAL
Proses Perubahan Sosial
Catatan perjalanan pembangunan pertanian di Indonesia telah banyak diulas oleh para peneliti. Salah satunya hasil penelitian Frans Hüsken yang dilaksanan pada tahun 1974. Penelitian yang mengulas tentang perubahan sosial di masyarakat pedesaan Jawa sebagai akibat kebijakan pembangunan pertanian yang diambil oleh pemerintah. Penelitian ini dilakukan di Desa Gondosari, Kawedanan Tayu, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Kekhususan dan keunikan dari penelitian ini terletak pada isinya yang tidak saja merekam pengalaman perubahan sosial (revolusi) tersebut, namun juga menggali studi dalam perspektif sejarah yang lebih jauh ke belakang. Penelitian ini berhasil mengungkap fenomena perubahan politik, sosial dan ekonomi melintasi tiga zaman, yaitu penjajahan Belanda, Jepang hingga masa pemerintahan orde lama dan orde baru. Husken menggambarkan terjadinya perubahan di tingkat komunitas pedesaan Jawa sebagai akibat masuknya teknologi melalui era imperialisme gula dan berlanjut hingga revolusi hijau.
Pendapat Marx tentang perubahan moda produksi menghasilkan perubahan pola interaksi dan struktur sosial tergambar jelas dalam tulisan husken. Masyarakat jawa yang semula berada pada pertanian subsisten dipaksa untuk berubah menuju pertanian komersialis. Perubahan komoditas yang diusahakan menjadi salah satu indikator yang dijelaskan oleh Husken. Imperialisme gula telah merubah komoditas padi menjadi tebu yang tentu berbeda dalam proses pengusahaannya. Gambaran ini semakin jelas pada masa orde baru dengan kebijakan revolusi hijaunya.
Gambaran serupa tampak pada tulisan Hefner, Jellinek dan Summers. Kebijakan pemerintah yang mengacu pada model modernisasi selalu menekankan pada pembangunan ekonomi yang merubah moda produksi dari pertanian menuju industri. Pembangunan ekonomi yang berorientasi pada kapitalisme membawa dampak pada kehidupan di tingkat komunitas.
PERSPEKTIF PERUBAHAN SOSIAL
Perkembangan masyarakat seringkali dianalogikan seperti halnya proses evolusi. Suatu proses perubahan yang berlangsung sangat lambat. Pemikiran ini sangat dipengaruhi oleh hasil-hasil penemuan ilmu biologi, yang memang telah berkembang dengan pesatnya. Peletak dasar pemikiran perubahan sosial sebagai suatu bentuk “evolusi” antara lain Herbert Spencer dan Augus Comte. Keduanya memiliki pandangan tentang perubahan yang terjadi pada suatu masyarakat dalam bentuk perkembangan yang linear menuju ke arah yang positif. Perubahan sosial menurut pandangan mereka berjalan lambat namun menuju suatu bentuk “kesempurnaan” masyarakat.
Pemikiran Spencer sangat dipengaruhi oleh ahli biologi pencetus ide evolusi sebagai proses seleksi alam, Charles Darwin, dengan menunjukkan bahwa perubahan sosial juga adalah proses seleksi. Masyarakat berkembang dengan paradigma Darwinian: ada proses seleksi di dalam masyarakat kita atas individu-individunya. Spencer menganalogikan masyarakat sebagai layaknya perkembangan mahkluk hidup. Manusia dan masyarakat termasuk didalamnya kebudayaan mengalami perkembangan secara bertahap. Mula-mula berasal dari bentuk yang sederhana kemudian berkembang dalam bentuk yang lebih kompleks menuju tahap akhir yang sempurna.
Seperti halnya Spencer, pemikiran Comte sangat dipengaruhi oleh pemikiran ilmu alam. Pemikiran Comte yang dikenal dengan aliran positivisme, memandang bahwa masyarakat harus menjalani berbagai tahap evolusi yang pada masing-masing tahap tersebut dihubungkan dengan pola pemikiran tertentu. Selanjutnya Comte menjelaskan bahwa setiap kemunculan tahap baru akan diawali dengan pertentangan antara pemikiran tradisional dan pemikiran yang berdifat progresif. Sebagaimana Spencer yang menggunakan analogi perkembangan mahkluk hidup, Comte menyatakan bahwa dengan adanya pembagian kerja, masyarakat akan menjadi semakin kompleks, terdeferiansi dan terspesialisasi.
Berbeda dengan Spencer dan Comte yang menggunakan konsepsi optimisme, Oswald Spengler cenderung ke arah pesimisme. Menurut Spengler, kehidupan manusia pada dasarnya merupakan suatu rangkaian yang tidak pernah berakhir dengan pasang surut. seperti halnya kehidupan organisme yang mempunyai suatu siklus mulai dari kelahiran, masa anak-anak, dewasa, masa tua dan kematian. Perkembangan pada masyarakat merupakan siklus yang terus akan berulang dan tidak berarti kumulatif.
Teori-teori terus berkembang dengan pesatnya. Talcott Parsons melahirkan teori fungsional tentang perubahan. Seperti para pendahulunya, Parsons juga menganalogikan perubahan sosial pada masyarakat seperti halnya pertumbuhan pada mahkluk hidup. Komponen utama pemikiran Parsons adalah adanya proses diferensiasi. Parsons berasumsi bahwa setiap masyarakat tersusun dari sekumpulan subsistem yang berbeda berdasarkan strukturnya maupun berdasarkan makna fungsionalnya bagi masyarakat yang lebih luas. Ketika masyarakat berubah, umumnya masyarakat tersebut akan tumbuh dengan kemampuan yang lebih baik untuk menanggulangi permasalahan hidupnya. Dapat dikatakan Parsons termasuk dalam golongan yang memandang optimis sebuah proses perubahan.
Bahasan tentang struktural fungsional Parsons ini akan diawali dengan empat fungsi yang penting untuk semua sistem tindakan. Suatu fungsu adalah kumpulan kegiatan yang ditujukan pada pemenuhan kebutuhan tertentu atau kebutuhan sistem. Parsons menyampaikan empat fungsi yang harus dimiliki oleh sebuah sistem agar mampu bertahan, yaitu :
1. Adaptasi, sebuah sistem harus mampu menanggulangu situasi eksternal yang gawat.
Sistem harus dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan.
2. Pencapaian, sebuah sistem harus mendefinisikan dan mencapai tujuan utamanya.
3. Integrasi, sebuah sistem harus mengatur hubungan antar bagian yang menjadi
komponennya. Sistem juga harus dapat mengelola hubungan antara ketiga fungsi
penting lainnya.
4. Pemeliharaan pola, sebuah sistem harus melengkapi, memelihara dan memperbaiki
motivasi individual maupun pola-pola kultural yang menciptakan dan menopang
motivasi.

Francesca Cancian memberikan sumbangan pemikiran bahwa sistem sosial merupakan sebuah model dengan persamaan tertentu. Analogi yang dikembangkan didasarkan pula oleh ilmu alam, sesuatu yang sama dengan para pendahulunya. Model ini mempunyai beberapa variabel yang membentuk sebuah fungsi. Penggunaan model sederhana ini tidak akan mampu memprediksi perubahan atau keseimbangan yang akan terjadi, kecuali kita dapat mengetahui sebagaian variabel pada masa depan. Dalam sebuah sistem yang deterministik, seperti yang disampaikan oleh Nagel, keadaan dari sebuah sistem pada suatu waktu tertentu merupakan fungsi dari keadaan tersebut beberapa waktu lampau.
Teori struktural fungsional mengansumsikan bahwa masyarakat merupakan sebuah sistem yang terdiri dari berbagai bagian atau subsistem yang saling berhubungan. Bagian-bagian tersebut berfungsi dalam segala kegiatan yang dapat meningkatkan kelangsungan hidup dari sistem. Fokus utama dari berbagai pemikir teori fungsionalisme adalah untuk mendefinisikan kegiatan yang dibutuhkan untuk menjaga kelangsungan hidup sistem sosial. Terdapat beberapa bagian dari sistem sosial yang perlu dijadikan fokus perhatian, antara lain ; faktor individu, proses sosialisasi, sistem ekonomi, pembagian kerja dan nilai atau norma yang berlaku.
Pemikir fungsionalis menegaskan bahwa perubahan diawali oleh tekanan-tekanan kemudian terjadi integrasi dan berakhir pada titik keseimbangan yang selalu berlangsung tidak sempurna. Artinya teori ini melihat adanya ketidakseimbangan yang abadi yang akan berlangsung seperti sebuah siklus untuk mewujudkan keseimbangan baru. Variabel yang menjadi perhatian teori ini adalah struktur sosial serta berbagai dinamikanya. Penyebab perubahan dapat berasal dari dalam maupun dari luar sistem sosial.
Pengelompokkan teori perubahan sosial telah dilakukan oleh Strasser dan Randall. Perubahan sosial dapat dilihat dari empat teori, yaitu teori kemunculan diktator dan demokrasi, teori perilaku kolektif, teori inkonsistensi status dan analisis organisasi sebagai subsistem sosial.
Perspektif Penjelasan Tentang Perubahan
Barrington Moore, teori kemunculan diktator dan demokrasi Teori ini didasarkan pada pengamatan panjang tentang sejarah pada beberapa negara yang telah mengalami transformasi dari basis ekonomi agraria menuju basis ekonomi industri.
Teori perilaku kolektif Teori dilandasi pemikiran Moore namun lebih menekankan pada proses perubahan daripada sumber perubahan sosial.
Teori inkonsistensi status Teori ini merupakan representasi dari teori psikologi sosial. Pada teori ini, individu dipandang sebagai suatu bentuk ketidakkonsistenan antara status individu dan grop dengan aktivitas atau sikap yang didasarkan pada perubahan.
Analisis organisasi sebagai subsistem sosial Alasan kemunculan teori ini adalah anggapan bahwa organisasi terutama birokrasi dan organisasi tingkat lanjut yang kompleks dipandang sebagai hasil transformasi sosial yang muncul pada masyarakat modern. Pada sisi lain, organisasi meningkatkan hambatan antara sistem sosial dan sistem interaksi.
Teori Barrington Moore
Teori yang disampaikan oleh Barrington Moore berusaha menjelaskan pentingnya faktor struktural dibalik sejarah perubahan yang terjadi pada negara-negara maju. Negara-negara maju yang dianalisis oleh Moore adalah negara yang telah berhasil melakukan transformasi dari negara berbasis pertanian menuju negara industri modern. Secara garis besar proses transformasi pada negara-negara maju ini melalui tiga pola, yaitu demokrasi, fasisme dan komunisme.
Demokrasi merupakan suatu bentuk tatanan politik yang dihasilkan oleh revolusi oleh kaum borjuis. Pembangunan ekonomi pada negara dengan tatanan politik demokrasi hanya dilakukan oleh kaum borjuis yang terdiri dari kelas atas dan kaum tuan tanah. Masyarakat petani atau kelas bawah hanya dipandang sebagai kelompok pendukung saja, bahkan seringkali kelompok bawah ini menjadi korban dari pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh negara tersebut. Terdapat pula gejala penhancuran kelompok masyarakat bawah melalui revolusi atau perang sipil. Negara yang mengambil jalan demokrasi dalam proses transformasinya adalah Inggris, Perancis dan Amerika Serikat.
Berbeda halnya demokrasi, fasisme dapat berjalan melalui revolusi konserfatif yang dilakukan oleh elit konservatif dan kelas menengah. Koalisi antara kedua kelas ini yang memimpin masyarakat kelas bawah baik di perkotaan maupun perdesaan. Negara yang memilih jalan fasisme menganggap demokrasi atau revolusi oleh kelompok borjuis sebagai gerakan yang rapuh dan mudah dikalahkan. Jepang dan Jerman merupakan contoh dari negara yang mengambil jalan fasisme.
Komunisme lahir melalui revolusi kaun proletar sebagai akibat ketidakpuasan atas usaha eksploitatif yang dilakukan oleh kaum feodal dan borjuis. Perjuangan kelas yang digambarkan oleh Marx merupakan suatu bentuk perkembangan yang akan berakhir pada kemenangan kelas proletar yang selanjutnya akan mwujudkan masyarakat tanpa kelas. Perkembangan masyarakat oleh Marx digambarkan sebagai bentuk linear yang mengacu kepada hubungan moda produksi. Berawal dari bentuk masyarakat primitif (primitive communism) kemudian berakhir pada masyarakat modern tanpa kelas (scientific communism). Tahap yang harus dilewati antara lain, tahap masyarakat feodal dan tahap masyarakat borjuis. Marx menggambarkan bahwa dunia masih pada tahap masyarakat borjuis sehingga untuk mencapai tahap “kesempurnaan” perkembangan perlu dilakukan revolusi oleh kaum proletar. Revolusi ini akan mampu merebut semua faktor produksi dan pada akhirnya mampu menumbangkan kaum borjuis sehingga akan terwujud masyarakat tanpa kelas. Negara yang menggunakan komunisme dalam proses transformasinya adalah Cina dan Rusia.
Teori Perilaku Kolektif
Teori perilaku kolektif mencoba menjelaskan tentang kemunculan aksi sosial. Aksi sosial merupakan sebuah gejala aksi bersama yang ditujukan untuk merubah norma dan nilai dalam jangka waktu yang panjang. Pada sistem sosial seringkali dijumpai ketegangan baik dari dalam sistem atau luar sistem. Ketegangan ini dapat berwujud konflik status sebagai hasil dari diferensiasi struktur sosial yang ada. Teori ini melihat ketegangan sebagai variabel antara yang menghubungkan antara hubungan antar individu seperti peran dan struktur organisasi dengan perubahan sosial.
Perubahan pola hubungan antar individu menyebabkan adanya ketegangan sosial yang dapat berupa kompetisi atau konflik bahkan konflik terbuka atau kekerasan. Kompetisi atau konflik inilah yang mengakibatkan adanya perubahan melalui aksi sosial bersama untuk merubah norma dan nilai.



Teori Inkonsistensi Status
Stratifikasi sosial pada masyarakat pra-industrial belum terlalu terlihat dengan jelas dibandingkan pada masyarakat modern. Hal ini disebabkan oleh masih rendahnya derajat perbedaan yang timbul oleh adanya pembagian kerja dan kompleksitas organisasi. Status sosial masih terbatas pada bentuk ascribed status, yaitu suatu bentuk status yang diperoleh sejak dia lahir. Mobilitas sosial sangat terbatas dan cenderung tidak ada. Krisis status mulai muncul seiring perubahan moda produksi agraris menuju moda produksi kapitalis yang ditandai dengan pembagian kerja dan kemunculan organisasi kompleks.
Perubahan moda produksi menimbulkan maslaah yang pelik berupa kemunculan status-status sosial yang baru dengan segala keterbukaan dalam stratifikasinya. Pembangunan ekonomi seiring perkembangan kapitalis membuat adanya pembagian status berdasarkan pendidikan, pendapatan, pekerjaan dan lain sebagainya. Hal inilah yang menimbulkan inkonsistensi status pada individu.
Penulis Bahan Kajian Proses Perubahan Konsep Penyebab Perubahan
Sosrodihardjo Masyarakat Jawa Kemunculan kelas pemasaran yang menimbulkan perubahan pada struktur sosial masyarakat. Stratifikasi sosial (status sosial), pola konsumsi. Moda produksi (kapitalisme) melalui kolonialisme yang ditandai adanya komersialisasi pertanian.
Sarman Komunitas petani plasma PIR Karet Danau Salak Kalsel Perubahan pola konsumsi pada masyarakat serta fenomena “pembangkangan” oleh petani. Selain itu muncul kelas sosial baru yaitu pedagang tengkulak. Stratifikasi sosial (status sosial), hubungan kerja, gaya hidup, pola konsumsi. Moda produksi (materialis), peningkatan pendapatan, permasalahan ekonomi perusahaan inti.
Wertheim Kawasan asia selatan dan tenggara Masuknya kapitalisme di asia menyebabkan polarisasi pada struktur sosial masyarakat. Kemunculan kelas borjuis membawa dampak pada semakin sengitnya kompetisi dan konflik dengan borjuis asing. Stratifikasi sosial (status sosial), gerakan sosial Moda produksi (kapitalisme) melalui kolonialisme yang ditandai adanya komersialisasi pertanian.
Kuntowijoyo Masyarakat agraris Madura Terjadinya segmentasi pada masyarakat Madura yang dapat dipandang sebagai perubahan pola stratifikasi sosial yang ada di masyarakat. Kemunculan kelompok strategis sebagai bentuk usaha untuk mempertahankan status sosial yang ada. Stratifikasi sosial (status sosial), gerakan sosial. Moda produksi (kapitalisme) melalui kolonialisme
Menurut Douglas (1973), mikrososiologi mempelajari situasi sedangkan makrososiologi mempelajari struktur. George C. Homans yang mempelajari mikrososiologi mengaitkan struktur dengan perilaku sosial elementer dalam hubungan sosial sehari-hari, sedangkan Gerhard Lenski lebih menekankan pada struktur masyarakat yang diarahkan oleh kecenderungan jangka panjang yang menandai sejarah. Talcott Parsons yang bekerja pada ranah makrososiologi menilai struktur sebagai kesalingterkaitan antar manusia dalam suatu sistem sosial. Coleman melihat struktur sebagai pola hubungan antar manusia dan antar kelompok manusia atau masyarakat. Kornblum (1988) menyatakan struktur merupakan pola perilaku berulang yang menciptakan hubungan antar individu dan antar kelompok dalam masyarakat.
Mengacu pada pengertian struktur sosial menurut Kornblum yang menekankan pada pola perilaku yang berulang, maka konsep dasar dalam pembahasan struktur adalah adanya perilaku individu atau kelompok. Perilaku sendiri merupakan hasil interaksi individu dengan lingkungannya yang didalamnya terdapat proses komunikasi ide dan negosiasi.
Pembahasan mengenai struktur sosial oleh Ralph Linton dikenal adanya dua konsep yaitu status dan peran. Status merupakan suatu kumpulan hak dan kewajiban, sedangkan peran adalah aspek dinamis dari sebuah status. Menurut Linton (1967), seseorang menjalankan peran ketika ia menjalankan hak dan kewajiban yang merupakan statusnya. Tipologi lain yang dikenalkan oleh Linton adalah pembagian status menjadi status yang diperoleh (ascribed status) dan status yang diraih (achieved status).
Status yang diperoleh adalah status yang diberikan kepada individu tanpa memandang kemampuan atau perbedaan antar individu yang dibawa sejak lahir. Sedangkan status yang diraih didefinisikan sebagai status yang memerlukan kualitas tertentu. Status seperti ini tidak diberikan pada individu sejak ia lahir, melainkan harus diraih melalui persaingan atau usaha pribadi.
Social inequality merupakan konsep dasar yang menyusun pembagian suatu struktur sosial menjadi beberapa bagian atau lapisan yang saling berkait. Konsep ini memberikan gambaran bahwa dalam suatu struktur sosial ada ketidaksamaan posisi sosial antar individu di dalamnya. Terdapat tiga dimensi dimana suatu masyarakat terbagi dalam suatu susunan atau stratifikasi, yaitu kelas, status dan kekuasaan. Konsep kelas, status dan kekuasaan merupakan pandangan yang disampaikan oleh Max Weber (Beteille, 1970).
Kelas dalam pandangan Weber merupakan sekelompok orang yang menempati kedudukan yang sama dalam proses produksi, distribusi maupun perdagangan. Pandangan Weber melengkapi pandangan Marx yang menyatakan kelas hanya didasarkan pada penguasaan modal, namun juga meliputi kesempatan dalam meraih keuntungan dalam pasar komoditas dan tenaga kerja. Keduanya menyatakan kelas sebagai kedudukan seseorang dalam hierarkhi ekonomi. Sedangkan status oleh Weber lebih ditekankan pada gaya hidup atau pola konsumsi. Namun demikian status juga dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti ras, usia dan agama (Beteille, 1970).
Berbagai kasus yang disajikan oleh beberapa penulis di depan dapat kita pahami sebagai bentuk adanya peluang mobilitas sosial dalam masyarakat. Kemunculan kelas-kelas sosial baru dapat terjadi dengan adanya dukungan perubahan moda produksi sehingga menimbulkan pembagian dan spesialisasi kerja serta hadirnya organisasi modern yang bersifat kompleks. Perubahan tatanan masyarakat dari yang semula tradisional agraris bercirikan feodal menuju masyarakat industri modern memungkinkan timbulnya kelas-kelas baru. Kelas merupakan perwujudan sekelompok individu dengan persamaan status. Status sosial pada masyarakat tradisional seringkali hanya berupa ascribed status seperti gelar kebangsawanan atau penguasaan tanah secara turun temurun. Seiring dengan lahirnya industri modern, pembagian kerja dan organisasi modern turut menyumbangkan adanya achieved status, seperti pekerjaan, pendapatan hingga pendidikan.
Teori inkonsistensi status telah mencoba menelaah tentang adanya inkonsistensi dalam individu sebagai akibat berbagai status yang diperolehnya. Konsep ini memberikan gambaran bagaimana tentang proses kemunculan kelas-kelas baru dalam masyarakat sehingga menimbulkan perubahan stratifikasi sosial yang tentu saja mempengaruhi struktur sosial yang telah ada.
Apabila dilihat lebih jauh, kemunculan kelas baru ini akan menyebabkan semakin ketatnya kompetisi antar individu dalam masyarakat baik dalam perebutan kekuasaan atau upaya melanggengkan status yang telah diraih. Fenomena kompetisi dan konflik yang muncul dapat dipahami sebagai sebuah mekanisme interaksional yang memunculkan perubahan sosial dalam masyarakat.
Penulis Tajuk tulisan Asumsi-asumsi Thesis Sumber perubahan Pola perubahan
Talcott Parsons A functional Theory of Change Sebuah sistem terdiri dari beberapa bagian atau subsistem yang saling berhubungan. Sistem harus mempunyai empat fungsi (adaptasi, pencapaian tujuan, integrasi dan pemeliharaan pola) agar dapat tetap bertahan hidup. Dari luar dan dalam sistem sosial. Siklus.
Francesca Cancian Functional Analysis of Change Sistem sosial merupakan sebuah model dengan persamaan tertentu.
Keadaan dari sebuah sistem pada suatu waktu tertentu merupakan fungsi dari keadaan tersebut beberapa waktu lampau. Sebuah sistem fungsional terdiri dari dua tipe variabel yaitu G’s dan state coordinates.
Perubahan di dalam sistem merupakan perubahan yang tidak merubah struktur dari sitem tersebut.
Perubahan pada sistem adalah segala perubahan yang merubah struktur dari sistem tersebut. Dari luar dan dalam sistem sosial. Siklus.
Everett E. Hagen On the Theory of Social Change Perubahan sosial dapat digambarkan dari perubahan struktur ekonomi. Perubahan sosial dipengaruhi oleh faktor kepribadian masing-masing individu.
Perubahan struktur sosial yang tradisional sangat diperlukan untuk mencapai pertmbuhan ekonomi. Dari dalam. Linear.



ISLAM DAN PERUBAHAN SOSIAL
Perubahan sosial adalah perubahan dalam hubungan interaksi antar orang, organisasi atau komunitas, ia dapat menyangkut “struktur sosial” atau “pola nilai dan norma” serta “pran”. Dengan demikina, istilah yang lebih lengkap mestinya adalah “perubahan sosial-kebudayaan” karena memang antara manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat dipisahkan dengan kebudayaan itu sendiri. Cara yang paling sederhana untuk mengerti perubahan social (masyarakat) dan kebudayaan itu, adalah dengan membuat rekapitulasi dari semua perubahan yang terjadi di dalam masyarakat itu sendiri, bahkan jika ingin mendapatkan gambaran yang lebih jelas lagi mengenai perubahan mayarakat dan kebudayaan itu, maka suatu hal yang paling baik dilakukan adalah mencoba mengkap semua kejadian yang sedang berlangsung di tengah tengah masyarakat itu sendiri. Kenyataan mengenai perubahan-perubahan dalam masyarakat dapat dianalisa dari berbagai segi diantaranya : ke “arah” mana perubahan dalam masyarakat itu “bergeak” (direction of change)”, yang jelas adalah bahwa perubahan itu bergerak meninggalkan faktor yang diubah. Akan tetapi setelah meninggalkan faktor itu mungkin perubahan itu bergerak kepada sesuatu bentuk yang baru sama sekali, akan tetapi boleh pula bergerak kepada suatu bentuk yang sudah ada di dalam waktu yang lampau. Lalu apa sebenarnya yang kita maksud dengan perubahan masyarakat disini? Kebanyakan definisi membicarakan perubahan dalam arti yang sangat luas. Wilbert Moore misalnya, mendefinisikan perubahan sosial sebagai “perubahan penting dari stuktur sosial” dan yang dimaksud dengan struktur sosial adalah “pola-pola perilaku
dan interaksi sosial" . Dengan demikian dapat diartikan bahwa perubahan social dalam suatu kajian untuk melihat dan mempelajari tingkah laku masyarakat dalam kaitannya dengan perubahan. Nah, apakah Islam juga mempunyai konsep tentang ingkah laku dan struktur masyarakat dalam kaitannya dengan perubahan? Mari kita lihat dalam uraian berikutnya.

Dalam menghadapi perubahan sosial budaya tentu masalah utama yang perlu diselesaikan ialah pembatasan pengertian atau definisi perubahan sosial (dan 1 Wilbert E. Maore, Order and Change, Essay in Comparative Sosiology, New York, John Wiley & Sons, 1967 perubahan kebudayaan) itu sendiri. Ahli-ahli sosiologi dan antropologi telah banyak membicarakannya. William F. Ogburn berpendapat, ruang lingkup perubahan sosial meliputi unsur-unsur kebudayaan, baik yang material ataupun yang bukan material. Unsurunsur material itu berpengaruh besar atas bukan-material. Kingsley Davis berpendapat bahwa perubahan sosial ialah perubahan dalam struktur dan fungsi masyarakat. Misalnya, dengan timbulnya organisasi buruh dalama masyarakat kapitalis, terjadi perubahan-perubahan hubungan antara buruh dengan majikan, selanjutnya perubahan-perubahan organisasi ekonomi dan politik2. Mac Iver mengartikan perubahan sosial sebagai perubahan hubunganhubungan sosial atau perubahan keseimbangan hubungan sosial. Gillin dan Gillin memandang perubahan sosial sebagai penyimpangan cara hidup yang telah diterima, disebabkan baik oleh perubahan kondisi geografi, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi ataupun karena terjadinya digusi atau penemuan baru dalam masyarakat. Selanjutnya Samuel Koeing mengartikan perubahan sosial sebagai modifikasi yang terjadi dalam pola-pola kehidupan manusia, disebabkan oleh perkara-perkara intren atau ekstern, Akhirnya dikutip definisi Selo Soemardjan yang akan dijadikan pegangan dalam pembicaraan selanjutnya. “Perubahan –perubahan sosial adalah segala perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam suatu masyarakat, yang Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Penantar, (Jakarta : Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, 1974), mempengaruhi sistem sosialnya, termasuka didalamnya nilai-nilai, sikap-sikap dan pola-pola per-kelakukan diantara kelompok-kelompok dalam masyarakat”. Definisi ini menekankan perubahan lembaga sosial, yang selanjutnya mempengaruhi segi-segi lain struktur masyarakat. Lembaga sosial ialah unsur yang mengatur pergaulan hidup untuk mencapai tata tertib melalui norma. Perubahan masyarakat yang berlangsung dalam abad pertama Islam tiada tara bandingannya dalam sejarah dunia Kesuksesan Nabi Besar Muhammad SAW. Dalam merombak masyarakat jahiliyah Arab, membentuk dan membinanya menjadi suatu masyarakat Islam, masyarakat persaudaraan, masyarakat demokratis, masyarakat dinamis dan progresif, masyarakat terpelajar, masyarakat berdisiplin, masyarakat industri, masyarakat sederhana, masyarakat sejahtera adalah tuntunan yang sangat sempurna dan wahyu ilahi. Allah berfirman, yang artinya : “Kitab ini tidak ada keraguan atasnya bagi orang-orang yang bertakwa” (Q.S. 2 :2). Nabi Muhammad adalah Nabi yang paling sukses diantara para pemimpin agama, mendapat pengakuan dunia. Ajaran Islam yang dibawanya berhasil dan kuasa membasmi kejahatan yang sudah berurat berakar, penyembahan berhala, minuman keras, pembunuhan dan saling bermusuhan sampai tidak berbekas sama sekali, dan Muhammad berhasil membina di atasnya suatu bangsa yang berhasil menyalakan ilmu pengetahuan yang terkemuka, bahkan menjadi sumber kebangunan Eropa. Proses perubahan masyarakat yang digerakkan oleh Muhammad adalah proses evolusi. Proses itu berlangsung dengan mekanisme interaksi dan komunikasi sosial, dengan imitasi, sugesti, identifikasi dan simpati. Strategi perubahan kebudayaan yang dicanangkannya adalah strategi yang sesuai dengan fitrah, naluri, bakat, azas atau tabiat-tabiat universal kemanusiaan. Stratagi dan dikumandangkannya strategi mencapai salam, mewujudkan perdamaian, mewujudkan suatu kehidupan masyarakat yang sejahtera, persaudaraan, dan ciri-ciri masyarakat Islam yang dibicarakan di atas tadi.
Walaupun demikian Muhammad harus mempersiapkan bala tentara untuk mempertahankan diri dan untuk mengembangkan dakwahnya, adalah karena tantangan yang diterima dari kaum Quraish dan penantang-penantang jahiliyah lainnya untuk menghapuskan eksistensi Muhammad dan pengikutnya. Justru karena tantangan itu, kaum muslimin kemudian bertumbuh dengan cepat dan mengembangkan masyarakat dan kebudayaan dengan sempurna. Dalam situasi yang demikian, kita perlu merenungkan mengapa Muhammad SAW, junjungan kita, panutan kita, mampu membuat perubahan suatu masyarakat bodoh, terkebelakang, kejam, menjadi suatu masyarakat sejahtera, terpelajar, dinamis dan pogresif dalam waktu yang begitu singkat. Strategi kebudayaan yang dibandingkan Muhammad itu perlu kita kaji kembali Metode perjuangannya perlu kita analisa. Semua itu harus mampu membenkan anda suatu pisau analisa untuk kemudian menytrsttn suatu strategi kebudayaan untuk masa kini, untuk membangun kembali umat Islam dari keadaannya yang sekarang ini. Suatu hipotesa patut diketengahkan. Muhammad pada dasarnya membawa suatu sistem teologi yang sangat berlainan dengan sistem teologi jahiliyah Arab.

B. Teori Perubahan Masyarakat
Karena perubahan masyarakat merupakan fakta, tidak heranlah kita kenapa filosof-filosof tertarik untuk merumuskan prinsip-prinsipnya dan kenapa ilmuwanilmuwan berusaha menemukan hukum-hukumnya. Banyak diantara mereka berpendapat bahwa kecenderungan kepada perubahan sosial adalah gejala yang wajar, timbul dari pergaulan hidup manusia.
Ada yang berpendapat, terjadinya perubahan sosial ialah karena timbulnya perubahan pada unsur-unsur yang mempertahankan keseimbangan masyarakat, misalnya perubahan pada unsur geografi, biologi, ekonomi atau kebudayaan Ada pula teori yang menyatakan bahwa perubahan sosial ada yang bersifat berkala dan tidak berkala. Selanjutnya ada teori yang menyimpulkan, bahwa perubahan sosial terjadi karena kondisi-kondisi sosial primer, misalnya kondisi ekonomi, teknologi, geografi atau biologi. Kondisi-kondisi inilah yang menyebabkan terjadinya perubahan pada aspek-aspek kehidupan sosial lainnya. Pendapat selanjutnya ialah, semua kondisi tersebut sama pentingnya, baik salah: situ ataupun kesemuanya memungkinkan terjadinya perubahan sosial. Karena masyarakat itu bersifat dinamik, adalah masyarakat Muslim sebaga salah satu masyarakat manusia tentu mengalami perubahan-perubahan pula. Kajian sejarah umat Islam membuktikan bahwa telah terjadi perubahan demi perubahan dalam perjalanan hidup umat. Sejarah adalah kisah tentang perkembangan masyarakat. Kalau masyarakat itu berubah, seperti batu atau gunung, barulah ia tidak bersejarah. Tetapi betapapun perubahan itu jadi gejala umum, seolah-olah dinafikan oleh ulam tradisional. Efek dari paham taklid terjadi pembekuan pemikiran. Mereka hanya bersedia menerima fakwa gurunya. Si guru itu menerima dari gurunya
pula. Guru dari guru menerima dari gurunya pula, demikianlah selanjutnya. Sikap ini tidak terbatas pada perkara-perkara di bidang agama, tapi juga di bidang sosiobudaya. Urusan sosiobudaya diatur oleh adat. Adat mewariskan dan mengawal peraturan, nilai, kepercayaan, sikap dan pandangan nenek-moyang dari generasi ke generasi. Pendukunga adat hanya taat kepada adat. Perkara-perkara yang diluar adat, apalagi yang berlawanan, mestilah ditolak. Seperti pula orang taklid yang hanya bersedia menerima fakwa gurunya. Fatwa yang bukan dari pada guru, apalagi yang berlawanan, mestilah ditolak. Maka tertutuplah kemungkinan untuk menerima fatwa baru dalam bidang agama (baru dalam pengertian bukan fatwa lama yang turun menurun, atau fatwa yang dirumuskan oleh tafsiran dan pandangan baru), dan tertutup pula kemungkinan menerima perkara baru dalam sosiobudaya. Dengan demikian tersekatlah perubahan. Orang mempertahankan apa yang selama ini ada. Apa yang ada itu berasal dari masa lalu. Tanpa perubahan pembaharuan tidak mungkin timbul. Masyarakat menjadi statik (lawan dari pada dinamik), mereka dekat oleh tradisi, menjadi tradisional. Suatu teori perubahan yang baik juga disinggung disini ialah prinsip perubahan imanen (dari dalam) yang dibicarakan oleh Sokorin dalam bukunya Social and Cultural Dynamics. Suatu sistem sosiobudaya semenjak ujudnya tidak hentihentinya bekerja dan bertindak. Dalam menghadapi lingkungan tertentu sistem itu menimbulkan perubahan, disamping dirinya sendiri juga ikut mengalami perubahan. Karena telah mengalami perubahan, maka dalam menghadapi lingkungan yang sama dengan yang sebelumnya, is memberikan reaksi yang berbeda dari pada reaksinya yang pertama. Jadi lingkungan tetap sama, tapi sistem itu dan reaksinya berubah. Demikianlah selanjutnya, reaksi yang ketiga terhadap lingkungan yang sama mengalami pula perubahan. Perubahan tidak hanya pada sistem dan reaksinyam tapi juga pada lingkungan itu sendiri. Bagaimana dengan perubahan sosial budaya? Apakah perubahan-perubahan yang sudah berlangsung tidak tentu arah, ataukaah is bergerak kepada suatu tujuan? Apakah perubahan-perubahan itu digerakkan atau ditentukan oleh manusia sendiri, ataukah is ditentukan oleh kekuasaan di luar manusia? Pertanyaan-pertanyaan itu membawa kita kepada perdebatan filsafat serba tentu dan tak serba tentu yang tidak habis-habisnya.
C. Faktor Penyebab Perubahan
a. Bertambahnya atau Berkurangnya Penduduk
Seperti telah diuraikan bertambahnya penduduk yang cepay menyebabkan terjadinya perubahan dalam struktur masyarakat yang diikuti pula dengan perubahan pola kebudayaan masyarakat (pola sikap, pola perilaku dan pola sarana fisik), nyata terjadi misalnya, perubahan dalam sistem hak milik atas tanah; orang Pitrim A. Sarokin, Social and Cultural Dynamies, (Boston : Sargent, 1957), mengenal hak milik individual atas tanah, sewa tanah, gadai tanah, bagi hasil dan seterusnya, yang sebelumnya tidak dikenal orang. Berkurangnya penduduk dapat disebabkan oleh hal-hal yang alamiah (wabah, bencana alam dan sebagainya); tetapi dapat pula karena berpindahnya sebagian penduduk dari desa ke kota atau dari suatu daerah (pulau) ke daerah (pulau) lain. Gejala pertama yang kini banyak kita temui di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, dikenal dengan gejala urbanisasi (gejala ini meningkat pada negara-negara dimana industri berkembang). Dalam hal yang kedua, perpindahan penduduk dari pulau Jawa ke Pulau lainnya (Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Irian Jaya) dan dikenal dengan transmigrassi. Perpindahan penduduk tersebut mungkin mengakibatkan kekosongan, misalnya nampak pada gejala stratifikasi sosial atau pembagian kerja dan lain-lain yang akan mempengaruhi lembaga-lembaga lainnya. Perpindahan penduduk atau imigrasi itu (antar negara dikenal sebagai emigrasi dan bagi negara yang menerimanya dikenal sebagai imigrasi) telah berkembang beratus-ratus ribu tahun lamanya di dunia ini. Hal ini sejajar pula dengan meningkatnya jumlah penduduk di dunia itu. Pada masyarakat-masyarakat yang mata pencahariannya yang utama, berburu, perpindahan selalu dilakukan, karena kehidupan mereka khususnya dalam hal persediaan hewan-hewan perburuan, sangat “tergantung” dari alam (dikenal sebagai masyarakat “nomaden”). Apabila hewan-hewan tersebut habis, mereka akan berpindah ke tempat-tempat lain.
b. Penemuan-penemuan Baru
Suatu proses soisial dan kebudayaan yang besar, tetapi yang terjadi dalam jangka waktu yang tidak lama, disebut “inovasi” (innovation). Proses tersebut bermula pada suatu penemuan baru, dikenal sebagai suatu “Discovery”. Jalannya penyebaran dan penerimaan unsur baru itu dalam masyarakat yang sering kali menyebabkan berkembangnya hal-hal baru pula yang mendukung penemuan (discovery) tersebut dikenal sebagai proses “invention”. Hal baru yang ditemukan itu bisa berupa unsur-unsur kebudayaan (nilai, norma, cita-cita, yang mengarahkan pola bersikap, atau pola perilaku atau pola sarana fisik), atau bias berupa unsur struktur masyarakat (hubungan, status atau organisasi baru).
c. Pertentangan (Conflic)
Pertentangan dalam masyarakat dapat pula menjadi sebab dari pada terjadinya perubahan sosial dan kebudayaan. Pertimbangan itu bisa terjadi antara orang perorangan dengan kelompoknya atau pertentangan antar kelompok. Pertentangan antara kepentingan individu dengan kelompoknya misalnya terjadi pada masyarakat tradisionil di Indonesia, yang mempunyai ciri kehidupan kolektif. Segala kegiatan didasarkan pada kepentingan individu dengan kelompoknya yang menyebabkan mempunyai fungsi sosial. Tidak jarang timbul pertentangan antara kepentingan individu dengan kelompoknya yang menyebabkan perubahan. Misalnya, pada masyarakat yang patrilineal seperti masyarakat Batak terdapat suatu kekuasaan/adat, bahwa apabila suami meninggal maka keturunannya berada di bawah kekuasaan kerabat suami. Dengan terjadinya proses individualisasi, terutama pada orang-orang Batak yang pergi merantau, kemudian terjadi penyimpangan, yaitu bahwa anak-anak tetap tinggal dengan ibunya, walaupun hubungan antara si ibu dengan keluarga almarhum suaminya telah putus, karena meninggalnya suami. Keadaan tersebut membawa perubahan besar pada peranan keluarga batih dan juga pada kedudukan wanita, yang selama ini dianggap tidak mempunyai hak apa-apa apabila dibandingkan dengan lakilaki. Pertentangan antara kelompok mungkin terjadi antara generasi tua dengan generasi muda, khususnya pada masyarakat berkembang yang mengalami perubahan masyarkataa tradisionil ke tahap mayarakat moderen. Generasi muda yang belum terbentuk kepribadiannya, lebih mudah untuk menerima unsur-unsur kebudayaan asing (misalnya kebudayaan Barat) yang dalam beberapa hal mempunyai taraf lebih lanjut, sehingga menimbulkan perubahan tertentu (contoh : pergaulan bebas antara pria dan wanita karena kedudukan kedua jenis kelamin setaraf).
d. Terjadinya Pemberontakan (Revolusi) dalam Masyarakat itu Sendiri
Suatu revolusi dalam massyarakat seperti, revolusi pada bulan Oktober 1917 di Rusia, atau tanggal 17 Agustus 1945 di Indonesia, menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan besar, baik struktural maupun dalam pola kebudayaan mayarakat. Seperti sudah diuraikan pada BAB X, lazimnya suatu revolusi merupakan perubahan yang cepat dan mengenai dasar-dasar atau sendisendi pokok dari kehidupan massyarakat. Suatu perubahan sosial dan kebudayaan dapat pula bersumber pada sebabsebab yang berasal dari luar masyarakat itu sendiri seperti berikut ini.

e. Sebab Perubahan Berasal dari Lingkungan Alam Fisik yang Ada di Sekitar Manusia
Terjadinya gempa bumi, taufan, banjir besar dan lain-lain dapat menyebabkan, bahwa masyarakat yang mendiami daerah-daerah tersebut terpaksa harus meninggalkan tempat tinggalnya. Di tempat yang baru mereka harus menyesuaikan diri dengan keadaan alam yang baru tersbeut, hal mana dapat merubah kehidupan mereka (contoh : jika biasanya di tempat yang lama suatu pencaharian adalah berburu, kemudian di tempat yang baru adalah harus bertani, maka timbullah suatu lembaga baru yaitu pertanian). Kadang-kadang sebab perubahan yang bersumber pada lingkungan alam fisik, dapat disebabkan oleh tindakan-tindakan dari warga masyarakat itu sendiri (contoh : penebangan hutan, penggalian tanah secara melampaui batas). Hal ini jelas akan mengakibatkan perubahan, dimana warga itu karenanya harus meninggalkan tempat tinggalnya.

f. Peperangan
Peperangan dengan negara lain dapat pula menyebabkan terjadinya perubahan, karena biasanya negara yang memang akan memaksakan negara yang takluk untuk menerima kebudayaannya yang dianggap sebagai kebudayaan yang lebih tinggi tarafnya. Negara-negara yang kalah dalam Perang Dunia Ketiga seperti Jerman dan Jepang, mengalami perubahan-perubahan yang besar dalam masyarakatnya. Jerman, misalnya mengalami perubahan yang menyangkut bidang kenegaraan, dimana negara tersebut akhirnya dipecah menjadi dua negara yaitu Jerman Barat (Republik Federasi Jerman) dan Jerman Timur (Republik Demokrat Jerman), yang masing-masing beroerientasi pada Blok Barat dan Blok Timur.

D. Arah Perubahan (Direction of Change)
Apabila seseorang mempelajari perubahan masyarakat, perlu pula diketahui ke arah mana perubahan dalam masyarakat itu bergerak. Yang jelas, perubahan bergerak meninggalkan faktor yang diubah. Akan tetapi setelah meninggalkan factor itu, mungkin perubahan itu bergerak kepada sesuatu bentuk yang sama sekali baru, namun mungkin pula bergerak ke arah suatu bentuk yang sudah ada di dalam waktu yang lampau. Usaha-usaha masyarakat Indonesia bergerak ke arah modernisasi dalam pemerintahan, angkatan bersenjata, pendidikan dan industrialisasi yang disertai dengan usaha untuk menemukan kembali kepribadian Indonesia, merupakan contoh dari kedua arah yang berlangsung pada waktu yang sama dalam masyarakat kita. Guna memperoleh gambaran jelas mengenai arah perubahan termaksud, akan diberikan suatu contoh yang diambil dari Social Changes in Yogyakarta. Jauh sebelum orang Belanda datang ke Indonesia, orang Jawa telah mempunyai lembaga-lembaga pendidikan tradisionalnya. Dalam cerita-cerita wayang, sering diceritakan bahwa guru yang bijaksana, mengumpulkan kaum muda sebagai cantriknya ke tempat kediamannya serta mengajarkan kepada mereka bagaimana caranya untuk dapat hidup sebagai warga masyarakat yang baik. Cantrikcantrik tersebut hiudp bersama-sama dengan guru mereka dalam pondok-pondok, dimana mereka bekerja untuk kelangsungan hidupnya dan kehidupan gurunya, sambil menerima ajaran-ajaran sang guru di sela-sela pekerjaan sehari-hari. Sistem tersebut berlangsung berabad-abad lamanya, baik waktu pengaruh Hindu, Budha maupun Islam masuk, hingga kini. Dengan masuknya pengaruh Islam para guru dinamakan kiai, sedangkan pondok-pondok tersebut dinamakan pesantren yang artinya adalah tempat para santri (yaitu orang-orang yang mendalami ajaran-ajaran agama Islam). Banyak yang berguru pada para kiai tersebut untuk mempelajarai dan memperdalamajaran agama Islam. Oleh karena kiai hanya mempunyai satu atau beberapa keahlian saja, maka banyak murid-murid yang belajar pada beberapa orang kiai, agar mendapatkan pengetahuan yang lebih luas. Tidak ada persyaratan khusus yang harus dipenuhi oleh seseorang yang hendak belajar pada pesantren tersebut, kecuali bahwa dia sungguh-sungguh ingin belajar dan memenuhi segala persyaratan yang ditentukan oleh hukum agama. Kehidupan di pesantren diatur sebagai satu keluarga yang dipimpin oleh kiai. Di luar pesantren, para muda mudi dapat pula memperoleh pendidikan keagamaan, misalnya di masjid-masjid. Akhir-akhir ini, banyak sekolah-sekolah yang didirikan oleh lembagalembaga agama Islam dimana para siswa juga mendapatkan pelajaran mengenai halhal yang berhubungan dengan soal keduniawian (sekuler). Sekolah-sekolah tersebut dinamakan madrasah. Sistem pendidikan yang demikian di daerah Istimewa Yogyakarta tidak mengalami perubahan-perubahan yang mencolok, kecuali para santri kemudian diperkenankan mengikuti pelajaran-pelajaran pada sekolah-sekolah biasa di pagi hari. Sesudah revolusi fisik, kecenderungan yang mengarah ke sekulerisasi sebagai pandangan hidup masyarakat Yogyakarta, semakin nyata. Persoalan-persoalan individual maupun sosial, lebih ditafsirkan dalam pengertianpengartian yang sekuler dan rasional. Kecenderungan tersebut tampak pula pada madrasah-madrasah dimana para siswa meminta agar diajarkan lebih banyak hal-hal yang menyangkut soal-soal keduniawian, seperti sejarah, ilmu bumi, ilmu pasti dan sebagainya, supaya menyamai pelajaran-pelajaran yang diberikan pada sekolahsekolah biasa. Pemerintah dalam hal ini tampak memberikan bantuan dan semakin banyak pula siswa-siswa madrasah yang mengikuti pelajaran-pelajaran pada sekolah biasa.
Dari gejala tersebut di atas, tidaklah dapat disimpulkan bahwa madrasah dan pesantren-pesantren tersebut sebagai lembaga pendidikan akan terdesak oleh lembaga-lembaga pendidikan yang sekuler. Akan tetapi keinginan-keinginan yang kuat untuk mendapat pendidikan yang sekuler rupa-rupanya lebih kuat pada generasi muda. Pendidikan di Indonesia dianggap sebagai alat utama untuk mengadakan perbaikan-perbaikan, dahulu pusat perhatian adalah kebahagiaan di dunia akhirat, tetapi dewasa ini pusat perhatian lebih ditujukan pada kehidupan di dunia ini. Pendidikan keagamaan seyogyanya disesuaikan dengan aspirasi generasi muda sejak roklamasi kemerdekaan. Sebagaimana telah dikatakan, suatu perubahan bergerak meninggalkan factor yang diubah. Salah satu jenis perubahan dapat dilakukan dengan mengadakan modernisasi.

KONSEP ISLAM TENTANG PERUBAHAN
A. Perubahan Sebagai Hukum Alam
Alam ini selalu dalam perubahan. Dalam filsafat metafisika filosof berkata, tidak ada yang ada, yang ada itu ialah perubahan. “Panta rei”, kata Heraklitos. Semua mengalir bagai air di sungai. Islam menyebut alam itu “makhluk”, yang diciptakan. Tuhan sebagai pencipta disebut khalik. Makhluk itu senantiasa dalam perubahan, hanya Khaliklah yang serba tetap. Pelajarilah sejarah bumi kita ! Dari tidak ada suatu ketika is menjadi ada. Dari matahari is lahir 3.350 juta tahun yang lalu. Ketika itu bumi berbentuk bintang kabut pijar. Tidak ada air setetespun di bumi. Perubahan-perubahan dalam jarak waktu hampir semilyar tahun, menjadikan bumi dingin. Terbentuk kerak bumi, gunung, batuan, sungai, laut. Tetapi tak satu pun ada kehidupan di bumi. Kira-kira dua milyar tahun yang lalu baru ada hayat yang pertama di dalam air. Sejarah perubahan bumi dua milyar tahun terakhir berlangsung bersama dengan evolusi flora dan fauna, yang tumbuh dan berkembang di permukaan bumi. Perubahan demi perubahan yang dialami oleh lumut karang, setelah dua milyar tahun terbentuklah tumbuh-tumbuhan berbunga. Teori evolusi beranggapan fauna dimulai oleh binatang satu sel dua milyar tahun yang lalu, berujung dengan beberapa juta terakhir dengan manusia. Demikianlah jagat raya dengan nebula serta bintang-bintangnya berubah. Bumi berubah. Hewan, tanaman, lautan, sungai, daratan, pegunungan, pantai pulau-pulau berubah serba terus. Manusia sebagai makhluk juga dikenal oleh hukum perubahan. Dari tidak ada suatu ketika is menjadi ada. Dalam “adanya” itu is mengalami perubahan demi perubahan. Dari bayi is menjadi kanak-kanak, menjadi pemuda, dewasa, tua, mati. Kalau filsafat meterialisme menutup riwayat hidup manusia dengan kematian, Islam mengajarkan masih berlanjutnya eksistensi manusia di seberang kuburan. Tetapi riwayat manusia setelah wafat inipun berubah-ubah : di alam barzakh roh menunggu kedatangan kiamat, kepada roh diberikan lagi jasad, mulailah perjalanan menuju tempat pembalasan “nar” dan “jannah”. Di dalam tempat-tempat itupun manusia mengalami perubahan-perubahan melalui pengalaman-pengalamannya. Kalau tidak ada perubahan masyarakat dalam perjalanan waktu, sejarah tidak ada. Lucy M. Salmon memberi syarat “perkembangan” (jadi perubahan) kepada 6 Sidi Gazalba, Antropologi Budaya Gaya Baru II, (Jakarta : Bulan Bintang, 1974), hal. 121 sejarah. “Sejarah untuk menjadi sejarah haruslah kajian tentang perkembangan, dan suatu sayatan atau stadium yang manapun juga baru menjadi sejarah apabila sayatan itu diperbandingkan dengan sayatan lain, sedemikian rupa hingga perkembangannya menjadi jelas.

B. Perubahan pada Masyarakat Muslim
Sebab-sebab perubahan yang bersumber di dalam dan dari luar masyarakat tentu ditemukan juga pada umat Islam. Dalam masyarakat Islam perubahan itu terkawal. Perubahan selalu boleh terjadi, selama prinsip asas-asas sosial yang ditentukan oleh then tidak ikut berubah. Tetapi dalam masyarakat Muslim kawalan itu tidak ada atau lemah sekali. Mereka tidak atau kurang memahami atau tidak menyadari lembaga-lembaga apa yang boleh dan yang tidak boleh berubah, selanjutnya apa perubahan sosio budaya yang sesuai dan yang berlawanan menurut then Islam.
Kalau dikaji pandangan-pandangan yang hidup di kalangan umat Islam, kita temukan kebanyakan menolak perubahan. Terutama aliran kaum tua kuat berpegang pada pandangan ini. Menolak perubahan bermakna menolak yang baru. Yang baru itu mungkin berbentuk ide, konsepsi, teori, prinsip atau tindakan. Mereka berbuat demikian demi mempertahankan iman dan menyelamatkan agama. Kalau pandangan menolak perubahan itu kita tinjau dari konsep lembaga-lembaga yang boleh dan tak boleh berubah (Pasal 7), maka pandangan itu hanya “separoh” benar. Karena yang tidak boleh berubah ialah prinsip-prinsip atau asas then dan pelaksanaan agama. Selain daripada itu masyarakat Islam terbuka untuk perubahan, apakah karena terciptanya sesuatu yang baru, ataupun karena asimilasi, difusi dan akulturasi. Ada pula orang-orang di kalangan umat Islam yang menerima perubahan tanpa batas. Demi untuk maju semua perubahan dihalalkannya, apakah mengenai prinsip sosial atau cara pelaksanaannya. Dengan menerima prinsip yang bukan daripada then Islam maka is tergelincir kepada cara hidup yang bukan daripada then Islam, maka is tergelincir kepada cara hidup bukan-Islam, sekalipun is tetap bertahan di dalam agama Islam. Karena sosiobudayanya tidak tertakluk kepada agama Islam, artinya dalam kehidupannya sehari-hari di luar Rukun Islam, is melupakan Allah, tidak berpedoman kepada Wur’an dan dalam tindak tanduknya tidak memperhitungkan akhirt, maka Muslim itu menjadi sekularis. Agamanya tetap Islam, tapi cara hidupnya putus daripada agama itu. Mereka yang menolak perubahan sosial menjadi statik. Statik dalam pengamalan agama adalah tersuruh. Prinsip dan cara pengamalannya diputuskan oleh naqal. Akal tidak berwenang untuk merubahnya. Tetapi statik dalam pengamalan prinsip-pinsip kebudayaan membawa orang terkebelakang, ketinggalan dalam dunia yang selalu bergerak maju. Cara pelaksanaan prinsip kebudayaan diputuskan oleh akal, karena is mengenal dunia yang selalu berubah. Kenyataan yang dapat diamati pada sebagian terbesar umat Islam dewasa ini ialah mereka memang statik dalam sosial. Mereka bertahan dengan cara pelaksanaan prinsip-prinsip kebudayaan ratusan tahun yang lewat, bahkan ada yang sampai seribu tahun. Mereka mempertahankan dunia lamanya. Mereka mempertahankan cara-cara lama dalam sosial, ekonomi, politik, pendidikan, teknik, kesenian, seolah-olah polapola kebudayaan sejagat itu adalah agama. Dilihat dari segi ini maka salah satu masalah pokok umat Islam dewasa ini ialah sikapnya tentang perubahan masyarakat.
Karena kebanyakan umat Islam tidak mau meninggalkan unsur kebudayaan lama atau norma-norma lama, tidak bersedia menggantikannya dengan yang lebih maju, dan unsur dan norma itu dengan setia diwariskan dari satu angkatan kepada angkatan berikutnya, maka masyarakat Muslim pada umumnya menjadi statik. Yang baru ditolak, yang lama dipertahankan dengan gigih, maka buntulah gerak masyarakat, mereka menjadi statik, ketinggalan atau terbelakang di tengah-tengah gerak kemajuaan dunia yang dahsyat dalam abad ke-XX ini yang ditimbulkan oleh kebudayaan Barat.

C. Nilai Perubahan
Ruang lingkup pengertian perubahan sosiobudaya atau perubahan masyarakat adalah luas, didalamnya termasuk : pertumbuhan, perkembangan, penyimpangan gerak. Kalau dikatakan masyarakat itu berubah, adalah ungkapan ini ternilai netral. Bagaimana perubahan itu? Apakah positif atau negatif, “progress” atau “regress”, majukah atau mundur? Pertanyaan ini menyangkut nilai perubahan. Tidak tiap perubahan bersifat maju, mungkin juga bersifat mundur. Apakah berisfat maju atau mundur banyak bergantung pada ukuran yang dipakai. Seorang pemuda desa datang ke kota, melepaskan ikatan-ikatan adat daerahnya, menggantikannya dengan cara hidup Barat, dipandang oleh orang “modern” sebagai perubahan yang maju, tapi sebaliknya oleh orang-orang desanya. Orang tuanya mengeluh, karena anaknya sudah rusak, artinya mundur. Tetapi kalau perubahan menyangkut hasil metarial, ukuran mudah disatukan. Menjahit pakaian dengan tangan diubah dengan menjahit dengan mesin bermakna maju, karena lebih cepat, lebih rapi, tidak banyak membuang tenaga. Pada umumnya orang berpendapat bahwa motivasi perubahan adalah kemajuan teknik. Tetapi setiap penemuan teknik berakibat pada perubahan mental. Dengan demikian perubahan teknik dapat menyebabkan perubahan masyarakat disemua sektor. Pendapat dan penilaian berubah, sehingga penemuan teknik dan penggunaannya menghendaki filsafat hidup baru, meninggalkan filsafat hidup lama. Dari pandangan sejarah di atas tersimpul, perubahan teknik mengubah ekonomi, perubahan ekonomi mengubah kebudayaan. Bagi Marx ekonomilah yang jadi faktor penentu kehidupan manusia. Jadi perubahan ekonomi menguba kehidupan manusia. Soal ekonomi ialah soal materi. Tindakan dalam ilmu, seni, agama, moral, hukum dan politik (aspek-aspek kebudayaan menurut Marx) adalah endapan dan keadaan ekonomi. Jadi kebudayaan adalah hasil daripada keadaan materi. Kalau kehidupan dibagi dua, yaitu bangunan atas dan bangunan bawah, adalah bagian atas itu kebudayaan yang bersifat rohaniah; dan bangunan bawah :
ekonomi, bersifat materi. Bangunan atas bergantung pada bangunan bawah. Selanjutnya Marx berteori, ekonomi ditentukan oleh produksi dan produksi ditentukan oleh adat. Alat-alat itu materi, yang dihasilkannyapun materi. Karena itulah perkembangan masyarakat ditentukan oleh materi. Perkembangan masyarakat itu adalah “histrory” (sejarah). History ditentukan oleh materi. Karena itulah filsafat Marx itu disebut orang historis materialisma. Berbeda dari teori materialisma itu, Islam memandang motivasi perubahan ialah rohani. Mari kita ikuti kembali jalan fikiran materialisma itu kembali. Masyarakat berubah karena perubahan ekonomi. Ekonomi berubah karena perubahan teknik (alat). Jalan pikiran ini tidak dapat ditolak, karena memang demikianlah adanya. Sekarang kita lanjutkan. Kenapa terjadi perubahan teknik? Karena manusia
mendapat ilham, atau karena manusia berpikir, atau hasil dari pemikiran manusia. Kalau kita bicara tentang ilham atau pemikiran, kita bicara tentang rohaniah. Jadi perubahan teknik rupanya bukan berpangkal dari teknik itu sendiri, tapi dari rohani manusia. Jadi motivasi perubahan masyarakat ialah rohani manusia, melalui teknik. Penemuan dan penggunaan teknik baru membawa kepada perubahan nilai. Filsafat hidup lama menjadi disangsikan, perubahan teknik itu menghendaki filsafat hidup baru. Perubahan teknik menimbulkan perubahan antara kesatuan-kesatuan sosial dalam masyarakat. Untuk masa tertentu terganggu keseimbangan dalam masyarakat, sebab setiap perubahan sikap suatu kesatuan sosial meminta perubahan sikap pula pada kesatuan sosial lainnya. Akibatnya seluruh pola masyarakat menjadi berubah. Masyarakat Muslim yang “sedang berkembang” menghadapi masalah dalam pembangunan itu. Apakah dengan memperbaiki keadaan materinya masalah sudah selesai? Kemajuan materi dapat membawa mereka kepada sekularisma. Menurut penilaian Islam sekularisma itu bukanlah kemajuan, tapi kemunduran. Dilihat dari segi materialisma is maju, tapi dipandang dari segi rohaniah ia mundur. Sekularisma hanya memperhitungkan kepentingan kebudayaan. Kepentingan agama diabaikan, seterusnya ditolak. Kebahagiaan bagi sekularisma ada di dunia, bukan di akhirat. Karena itu kemajuan teknik dan ilmu-ilmu modern itu mesti diimbangi oleh kemajuan agama (kepahaman, amalan dan penghayatan). Kemajuan materi saja tanpa kemajuan rohaniah, menimbulkan ketidakseimbangan agama dan kebudayaan. Ketakpaduan (desintegrasi) then Islam akan membawa kepada krisis, terutama dalam bentuk sekularisma itu.
Agama Islam memainkan peranan dalam kehidupan pribadi dan masyarakat, sekalipun masyarakat itu telah disusupi oleh kebudayaan Barat atau dipengaruhi oleh sekularisma. Dalam masa massyarakat mengalami perubahan sosial yang dahsyat, maka pribadi danm masyarakat kehilangan pegangan, karena lembaga-lembaga yang sesungguhnya merupakan pemberi pegangan (seperti kebudayaan, keluarga, pendidikan) sedang dalam perobahan dan lembaga-lembaga itu sendiri tidak dapat mengatasi persoalannya. Dalam suasana dan keadaaan beginilah agama dapat membantu dengan memberi pegangan agar pribadi dan masyarakat tidak gelisah dan menemukan pegangan yang pasti dan benar pada ajaran Tuhan. Tetapi untuk ini metoda atau pendekatan ajaran agama itu mestilah di hidangkan sesuai dengan perobahan sosial. Misalnya tafsiran dan penjelasan diberikan sesuai dengan perobahan cara berfikir masyarakat dan ilmu-ilmu modern di manfaatkan untuk menerangkan ajaran-ajaran agama.
Agama Islam mampu, bahkan justeru berfungsi, untuk mengawal dan mengarahkan perobahan-perobahan sosiobudaya, baik perobahan lembaga dan norma-normanya ataupun konsepsi-konsepsi. Karena is (berbeda dengan agama Nasrani yang hanya mengatur urusan agama) memberikan prinsip dan asas kebudayaan dan menentukan arah perobahan masyarakat. Prinsip, asas dan arah itu bersifat serba tetap. Kembali kita kepada teori then Islam. Agama yang serba tetap menggariskan pegangan hidup, menentukan prinsip dan asas yang serbatatap sosiobudaya dan menunjukkan tujuan kehidupan. Pelaksanaan sosiobudaya boleh berobah serbaterus yang di laksanakan oleh akal, tapi tetap dalam pola yang di gariskan oleh agama. Maka perobahan-perobahan tidak menimbulkan krisis. Banyak kita dengar misalnya krisis kehidupan pribadi berujung dengan bunuh diri. Ini tidak ditemukan pada Muslim. Kalau ia terbentur dengan krisis ada tempat pelariannya. Tuhan adalah tempat pelarian yang terjamin dan selamat. Agar agama Islam kembali berperanan dalam perobahan-perobahan sosiobudaya umat Islam, konsepsi then Islam yang lengkap dan utuh perlu diamankan, yaitu perpaduan agama Islam dengan kebudayaan Islam. Asas dan prinsip kebudayaan di kembalikan kepada agama untuk menentukannya, sehingga norma-norma sosial di kawal dan di arahkan oleh agama.





















KEPUSTAKAAN

Alfian, “ Transprmasi Sosial Budaya “ Penerbit, UI Press, 1986
Ali A. Mukti, “ Manusia, Islam dan Kebudayaan” IAIN Sunan Kalijaga Yoyakarta,
1980
Ali, Ameer, “The Spirit of Islam” Christopher, London, 1923
Deang, Hans, “Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan“, Penerbit Pustaka Pelajar
Yogyakarta, 2000
Eko Supriyadi, “Sosialisme Islam”, Penerbit Pustaka Pelajar, 2003
Faisal Ismail, “Paradigma Kebudayaan Islam”, Penerbit Titian Ilahi Press,
Yogyarakata, 1996
Gazalba, Sidi, “Modernisasi dalam Persoalan, Bagaimana Sikap Islam”, Penerbit
Bulan Bintang, Jakarta, 1973
Giddens, Anthony, “Jalan Ketiga : Pembaharuan Demokrasi Sosial”, Penerbit
Gramedia, Jakarta, 1999
Judistira K. Gorna, “Teori-teori Perubahan Sosial”, Penerbit Program Pascasarjana
UNPAD, 1993
Pitirim A. Sarokin, “Social and Cultural Dynamics”, Bastom : Sargent, 1957
Soejono Soekanto, “Sosiologi Suatu Pengantar”, Penerbit UI Yogyakarta, 1974
Wilbert E. Moore, Order and Change. Essay in Comparative Sosiology”, New York,
John Willey & Sons, 1967

No comments:

Post a Comment