1.
Latar
Belakang
Proses
pendidikan merupakan upaya sadar manusia yang tidak pernah ada hentinya. Sebab
bilamana manusia berhenti melakukan pendidikan, sulit dibayangkan apa yang akan
terjadi pada sistem peradaban dan budaya manusia. Oleh karena itu, pemerintah
maupun masyarakat berupaya untuk melakukan pendidikan dengan standar kualitas
yang dinginkan untuk memberdayakan manusia. Sistem pendidikan yang di-bangun
harus disesuaikan dengan tuntutan zamannya agar pedidikan da-pat menghasilkan
outcome yang relevan dengan tuntutan zaman. Di sinilah peranan pemerintah
sebagai pihak yang memiliki kewenangan dalam menentukan kebijakan pendidikan di
Indonesia.
Dalam
hal ini tentu saja kebijakan tersebut harus selalu memperhatikan nilai-nilai
budaya yang dipegang teguh oleh pendukung budaya tempat pendidikan
diselenggara-kan. Kebudayaan diwariskan dari generasi ke generasi dengan cara
belajar. Menurut Sultan Takdir Alisjahbana kebudayaan adalah keseluruh-an
gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakannya dengan belajar beserta
keseluruhan dari hasil budi pekertinya. Tujuan Pendidikan yang digariskan dalam
UU No. 20/2003 pasal 3 pada akhirnya adalah terbentuk-nya kemampuan dan watak
seperti juga yang dirumuskan oleh UNESCO, to muold the character and mind of young
generation. Kepribadian hanya dapat dibentuk melalui interaksi personal, proses
meniru, proses pemahaman, toleransi dan berbagai soft skill hanya dapat dikembangkan melalui
apa yang disebut oleh Rogers1 dengan
helping relationship sebagai pembuka jalan proses becoming. Arah, tujuan, atau sasaran
yag diperhatikan dan dibina serta dijadikan pedoman dalam pelaksanaan segala
aktivitas yang bersifat pendidikan harus memperhatikan aspek-aspek pendidikan
sebagai gejala kebudayaan.
Sumber daya manusia yang berpendidikan akan menjadi modal uta-ma pembangunan nasional, terutama untuk perkembangan ekonomi. Semakin banyak orang yang berpendidikan maka semakin mudah bagi suatu negara untuk membangun bangsanya. Hal ini terjadi karena dikuasainya keterampilan, ilmu pengetahuan dan teknologi oleh sumber daya manusia-nya sehingga pemerintah lebih mudah dalam menggerakkan pembangun-an nasional. Bangsa yang maju di dunia ini adalah bangsa yang memper-tahankan kekhasannya. Sebagaimana kita ketahui bahwa salah satu unsur kebudayaan adalah bahasa. Negara yang maju di dunia ini adalah negara yang memprioritaskan penggunaan bahasa nasionalnya sebagai bahasa pengantar dalam dunia pendidikan sehingga peserta didik lebih leluasa mengembangkan kreativitasnya. Mereka menuangkan pikirannya, gaga-san-gagasannya dalam bentuk konsep dengan keyakinan yang pada akhir-nya menghasilkan suatu inovasi berupa penemuan. Peranan fungsi budaya dalam pendidikan sangat penting.
Sumber daya manusia yang berpendidikan akan menjadi modal uta-ma pembangunan nasional, terutama untuk perkembangan ekonomi. Semakin banyak orang yang berpendidikan maka semakin mudah bagi suatu negara untuk membangun bangsanya. Hal ini terjadi karena dikuasainya keterampilan, ilmu pengetahuan dan teknologi oleh sumber daya manusia-nya sehingga pemerintah lebih mudah dalam menggerakkan pembangun-an nasional. Bangsa yang maju di dunia ini adalah bangsa yang memper-tahankan kekhasannya. Sebagaimana kita ketahui bahwa salah satu unsur kebudayaan adalah bahasa. Negara yang maju di dunia ini adalah negara yang memprioritaskan penggunaan bahasa nasionalnya sebagai bahasa pengantar dalam dunia pendidikan sehingga peserta didik lebih leluasa mengembangkan kreativitasnya. Mereka menuangkan pikirannya, gaga-san-gagasannya dalam bentuk konsep dengan keyakinan yang pada akhir-nya menghasilkan suatu inovasi berupa penemuan. Peranan fungsi budaya dalam pendidikan sangat penting.
Pendidikan
formal telah diselenggarakan di Indonesia yang tentu saja harus memperhatikan
aspek-aspek budaya dalam penyajian materi pada setiap mata pelajaran.
Keseluruhan mata pelajaran dalam pengajaran seharusnya disesuaikan dengan
budaya Indonesia. Penemuan atau inovasi yang muncul hanya dapat terwujud
bilamana menggali dari potensi yang ada atau mengutamakan kekhasan, ciri khas atau budaya setempat. Oleh karena itu,
proses pembudayaan pada anak didik atau siswa perlu dimak-simalkan terutama
dengan melalui pendidikan formal
2.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar
belakang masalah di atas, muncul masalah yang dapat dirumuskan sebagai berikut:
A. Apakah
pendidikan dan pembudayaan itu?
B.
Bagaimanakah fungsi budaya dalam pendidikan?
C. Apa
peranan pendidikan formal dalam proses pembudayaan?
D. Bagaimana
proses pembudayaan melalui pendikan formal?
E. Bagaimana
Peran Pendidikan Nonformal dalam pemberdayaan masyarakat?
3.
Pembahasan
A. Pendidikan
dan Pembudayaan
Pendidikan dan
Pembudayaan Menurut bahasa Yunani pendidikan berasal dari kata pedagogi yaitu kata paid artinya anak sedangkan agogos artinya membimbing sehingga pedagogi
dapat diartikan sebagai ilmu dan seni mengajar anak. Menurut UU No. 20 tahun
2003 tentang sistem pendidikan nasional pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan dan pengen-dalian
diri. Kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Dari pernyataan di atas
dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran atau pelatihan agar peserta
didik secara aktif dapat mengem-bangkan potensi dirinya supaya memiliki
kekuatan spritual keagamaan, emosional, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan
masyarakat.
Menurut R. Linton
kebudayaan dapat dipandang sebagai konfigurasi tingkah laku yang dipel-ajari
dan hasil tingkah laku yang dipelajari, unsur pembentuknya didu-kung dan
diteruskan oleh anggota masyarakat lainnya. Jadi, pembudayaan harus melalui
pendidikan apakah itu pendidikan melalui jalur formal atau nonformal. Suatu pandangan
bahwa budaya adalah sesuatu yang dipelajari, diteruskan, disampaikan dari satu
generasi ke generasi berikutnya. Selanjutnya tindakan manusia selalu dalam
bentuk interaksi tatap muka dan tentu saja menggunakan bahasa sebagai sarana
komuniaksi. Dalam pan-dangan ini budaya dimaksudkan menjelaskan bagaimana anak
perkem-bangannya mengikuti pola-pola budaya pada orang yang memeliharanya. Anak
akan tumbuh menjadi anggota budaya dari budaya yang dianut oleh orang tuanya.
Perolehan kebudayaan
oleh manusia terjadi melalui proses yang disebut pendidikan. Dalam pengertian
ini pendidikan adalah jalur mewa-riskan dan mewarisi kebudayaan. Akan tetapi pewarisan melulu tidaklah cukup
sebagai tujuan pendidikan dengan upaya pendidikan, kita perlu juga membuat
anak-anak didik itu kreatif dan berinisiatif. Dalam hal ini tidak boleh lepas
dari koridor pembudayaan. Dalam antropologi budaya dipelajari dan sebagai
bagian karakteris-tik pola perilaku dalam kelompoknya. Budaya yang kita miliki
telah dipelajari dari keluarga dan anggota lain dalam masyarakat yang seperti
halnya bentuk materi yang berupa buku dan
program televisi. Kita tidak dilahirkan dengan kekosongan budaya tetapi
dengan kemampuan memperoleh budaya itu dengan pengamatan, peniruan, coba dan
mencoba. Pendidikan dan pembudayaan harus dimulai sejak dini pada anak-anak.
Dalam hal ini bahasa yang sifatnya sopan dan santun pada anak sangat penting.
Kita tidak boleh lupa pada pendidikan bahasa anak pada saat balita. Masih
banyak orang tua yang masih mau bertengkar, menge-luarkan kata-kata kotor dan
pedas, saling umpat di hadapan anaknya yang sedang tumbuh kembang. Dapat
dibayangkan begitu banyak anak-anak sekarang yang walaupun baru berumur lima
tahun bahkan di bawanya
sudah bisa mengeluarkan
kata-kata yang tidak pantas. Itulah sebabnya mulai sekarang kita harus
menyadari apa yang pantas dan yang tidak pantas diucapkan di depan anak-anak.
Kita seharusnya menggunakan kata sopan, santun dan yang baik menurut moral
setiap saat berhadapan dengan anak. Hal ini merupakan salah satu proses
pendidikan dan pem-budayaan dalam penggunaan bahasa.
B.
Fungsi Budaya dalam Pendidikan
Fungsi budaya merujuk
pada sumbangan pendidikan pada peralihan dan perkembangan budaya pada tingkatan
sosial yang berbeda. Pada tingkat individual pendidikan membantu siswa untuk
mengembangkan kreativitasnya, kesadaran estetis serta untuk bersosialiasi
dengan norma-norma, nilai-nilai, dan keyakinan sosial yang baik. Orang yang
berpendi-dikan diharapkan lebih mampu menghargai atau menghormati perbedaan dan
pluralitas budaya sehingga memiliki sikap yang lebih terbuka ter-hadap
keanekaragaman budaya. Dengan demikian, semakin banyak orang yang berpendidikan
diharapkan akan lebih mudah terjadinya akulturasi budaya yang selanjutnya akan
terjadi integrasi budaya nasional atau regional. Professor Kinosita menyarankan
bahwa yang diperlukan di Indone-sia adalah pendidikan dasar dan bukan
pendidikan yang canggih. Proses pendidikan pada pendidikan dasar setidaknya
bertumpu pada empat pilar, yaitu:
lerning to know, learning to
do, learning to be, dan learning live together yang dapat dicapai
melalui delapan kompetensi dasar, yaitu: membaca, menulis, mendengar,
berbicara, menghitung, meneliti, menghafal, dan menghayal.9 Meskipun Indonesia
terkeropos oleh arus global, pada dasar-nya kita juga tidak ingin anak-anak
kelak tercabut dari akar budayanya dalam situasi global tersebut.10 Pendidikan
membantu siswa mengembang-kan dirinya secara psikologis, sosial, fisik, dan
membantu siswa mengem-bangkan potensinya semaksimal mungkin, sehingga
mampu survive di tengah pergulatan global
C.
Peranan Pendidikan Formal dalam Proses
Pembudayaan
Pendidikan bertujuan
membentuk agar manusia dapat menunjukkan perilakunya sebagai mahluk yang
berbudaya yang mampu bersosialisasi dalam masyarakatnya dan menyesuaikan diri
dengan lingkungannya da-lam upaya mempertahankan kelangsungan hidup, baik
secara pribadi, ke-lompok, maupun masyarakat secara keseluruhan. Sekolah atau
pendidikan formal adalah salah satu sarana atau media dari proses pembudayaan
media lainnya (keluarga dan institusi lainnya yang ada dalam masyarakat).
Dalam konteks inilah
pendidikan disebut sebagai proses untuk memanu-siakan manusia (Dick Hartoko).
Sejalan dengan itu kalangan antropolog dan ilmuwan sosial lainnya melihat bahwa
pendidikan merupakan upaya untuk membudayakan dan men-sosialisasikan manusia
sebagaimana yang kita kenal dengan enkulturasi, pembudayaan dan sosialisasi,
proses mem-bentuk kepribadian dan perilaku seseorang anak menjadi anggota
masya-rakat sehingga anak tersebut diakui keberadaannya oleh masyarakat yang
bersangkutan. Budaya cocok pada anggota etnik kelompok yang kita pu-nyai. Kita
biasa menyebut identitas budaya.
Daoed Joesoef memandang
pendidikan sebagai bagian dari kebuda-yaan karena pendidikan adalah upaya memberikan
pengetahuan dasar sebagai bekal hidup. Pengetahuan dasar sebagai bekal hidup
yang dimak-sudkan di sini adalah kebudayaan. Dikatakan demikian karena
kehidupan adalah keseluruhan dari keadaan diri kita, totalitas dari apa yang
kita laku-kan sebagai manusia, yaitu sikap, usaha, dan kerja yang harus
dilakukan oleh setiap orang, menetapkan suatu pendirian dalam tatanan kehidupan
bermasyarakat yang menjadi ciri kehidupan manusia sebagai mahluk bio-sosial.
Pendidikan adalah upaya
menanamkan sikap dan keterampilan pada anggota masyarakat agar mereka kelak
mampu memainkan peranan sesuai dengan kedudukan dan peran sosial masing-masing dalam masyarakat. Secara tidak
langsung pola ini menjadi proses melestarikan suatu kebuda-yaan. Sejalan dengan
ini Bertran Russel mengatakan
pendidikan sebagai tatanan sosial kehidupan bermasyarakat yang berbudaya.
Melalui pendi-dikan kita bisa membentuk suatu tatanam kehidupan bermasyarakat
yang maju, modern, tenteram, dan damai berdasarkan nilai-nilai dan norma
budaya.
Luaran pendidikan
formal diharapkan memiliki sikap positif yang diwujudkan dalam bentuk perilaku
yang religius, cekatan, terampil, dapat membedakan mana yang baik dan mana yang
buruk, mana yang salah dan yang benar, menghargai semua hal yang menjadi
bahagian kehidupan di alam ini termasuk segala bentuk perbedaan di antara
sesama manusia. Memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan yang tepat pada
saat yang cepat serta mampu mengembangkan potensi diri dalam upaya meningkatkan
kualitas pribadi, keluarga, kelompok, agama, bangsa, dan negara. Semua ini
merupakan unsur pokok dalam proses
pembentukan masyarakat yang sejahtera, survive, adil, makmur, dan penuh
kedamaian.
Dalam mewujudkan hal
ini para penyelengara pendidikan harus yakin bahwa program dan proses pembelajaran
dapat menggiring siswa agar mampu mengunakan terhadap segala yang dimilikinya
atau yang diperoleh selama proses belajar.
Sehingga bermanfaat dalam kehidupan selanjutnya baik kehidupan akademis
maupun kehidupan sehari-hari. Kedua hal
ini tidak dapat dipisahkan. Seharusnya program dan proses pembelajaran tidak
membuat dikotomi antara keduanya. Semua ini menunjukkan bahwa pendidikan adalah
upaya membangun budaya suatu masyarakat sehingga tercipta kehidupan modern,
maju dan harmoni yang didasari oleh nilai-nilai budaya yang diyakini bersama
oleh suatu masya-rakat.
D.
Proses Pembudayaan Melalui Pendidikan
Formal
Proses pembudayaan
(enkulturasi) adalah upaya membentuk peri-laku dan sikap seseorang yang
dilandasi oleh ilmu pengetahuan, keteram-pilan sehingga setiap individu dapat
memainkan perannya masing-masing. Dengan demikian, ukuran pembelajaran dalam
konsep enlkulturasi adalah perubahan perilaku siswa. Hal ini sejalan dengan
empat pilar pendidikan yang dikemukakan oleh UNESCO.
Belajar bukan hanya
untuk tahu (to know) tetapi juga menggiring siswa untuk dapat mengaplikasikan
pengetahuan yang diperoleh secara
langsung dalam kehidupan nyata belajar untuk membangun jati diri (to do), dan membentuk sikap hidup dalam
kebersamaan yang harmoni (to live together). Untuk itu pembelajaran berlangsung
secara konstruktivis (depelopmental) yang didasari oleh pemikiran bahwa setiap
individu peserta didik merupakan bibit potensial yang mampu berkembang secara
mandiri. Tugas pendidikan adalahmemotivasi agar setiap anak mengenali
potensinya sedini mungkin dan menyediakan pelayanan yang sesuai dengan potensi
yang dimiliki dan mengarahkan pada persiapan yang dihadapi terhadap tantangan
ke depan.
Pendidikan mengarah
pada pembentukan karakter, performa yang konkrit (observable) dan terukur
(measurable) yang berkembang dalam tiga ranah kemampuan, yaitu: kognitif,
psikomotor, dan afektif. Pengembangan ke-mampuan pada ketiga ranah
tersebut dilihat sebagai satu kesatuan
yang saling melengkapi. Untuk menjamin kekonsistenan antara tujuan pendidikan
dengan pembentukan manusia yang berbudaya (enkulturasi), perlu dirancang desain
pembelajaran di sekolah yang tidak lepas dari kondisi kehidupan nyata antar
dunia pendidikan dan dunia nyata terkait dengan hubungan sinergis. Dengan
demikian, antara niali-nilai yang ditanamkan dengan pengetahuan akademis
terkait dengan hubungan yang kontinum. Tidak satu pun dari komponen ilmu
pengetahuan yang lepas dari nilai dan norma budaya. Wertsch mengemukakan bahwa dalam mengetahui se-suatu tidak dapat dipisahkan
dari budaya yang memediasi dan men-transform tindakan ke pengetahuan
E.
Peran Pendidikan Nonformal dalam
pemberdayaan masyarakat
Pendidikan berbasis masyarakat (communihy-based education)
merupakan mekanisme yang memberikan peluang bagi setiap orang untuk memperkaya
ilmu pengetahuan dan teknologi melalui pembelajaran seumur hidup. Kemunculan
paradigma pendidikan berbasis masyarakat dipicu oleh arus besar modernisasi
yang menghendaki terciptanya demokratisasi dalam segala dimensi kehidupan
manusia, termasuk di bidang pendidikan. Mau tak mau pendidikan harus dikelola
secara desentralisasi dengan memberikan tempat seluas-luasnya bagi partisipasi
masyarakat.
Sebagai implikasinya, pendidikan menjadi usaha kolaboratif
yang melibatkan partisipasi masyarakat di dalamnva. Partisipasi pada konteks
ini berupa kerja sama antara warga dengan pemerintah dalam merencanakan,
melaksanakan, menjaga dan mengembangkan aktivitas pendidikaan. Sebagai sebuah
kerja sama, maka masvarakat diasumsi mempunyai aspirasi yang harus diakomodasi
dalam perencanaan dan pelaksanaan suatu program pendidikan.
1. Konsep Pendidikan Berbasis
Masyarakat
Pendidikan
berbasis masyarakat merupakan perwujudan demokratisasi pendidikan melalui
perluasan pelayanan pendidikan untuk kepentingan masyarakat. Pendidikan
berbasis masyarakat menjadi sebuah gerakan penyadaran masyarakat untuk terus
belajar sepanjang hayat dalam mengsi tantangan kehidupan yang berubah-ubah. Secara
konseptual, pendidikan berbasis masyarakat adalah model penyelenggaraan
pendidikan yang bertumpu pada prinsip “dari masyarakat, oleh masyarakat dan
untuk masyarakat”. Pendidikan dari masyarakat artinya pendidik memberikan
jawaban atas kebutuhan masyarakat. pendidikan oleh masyarakat artinya
masyarakat ditempatkan sebagai subyek/pelaku pendidikan, bukan objek
pendidikan. Pada konteks ini, masyarakat dituntut peran dan partisipasi
aktifnya dalam setiap program pendidikan. Adapun pengertian pendidikan untuk
masyarakat artinya masyarakat diikutsertakan dalam semua program yang dirancang
untuk menjawab kebutullan mereka. Secara singkat dikatakan, masyarakat perlu
diberdayakan, diberi Peluang dan kebebasan untuk merddesain, merencanakan,
membiayai, mengelola dan menilai sendiri apa yang diperlukan secara spesifik di
dalam, untuk dan oleh masyarakat sendiri.
Di
dalam Undang-undang no 20/2003 pasal 1 ayat 16, arti dari pendidikan berbasis
masyarakat adalah penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama,
sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan
dari, oleh, dan untuk masyarakat. Dengan demikian nampak bahwa pendidikan
berbasis masyarakat pada dasarnya merupakan suatu pendidikan yang memberikan
kemandirian dan kebebasan pada masyarakat untuk menentukan bidang pendidikan
yang sesuai dengan keinginan masyarakat itu sendiri.
pendidikan
berbasis masyarakat adalah sebuah proses yang didesain untuk memperkaya
kehidupan individual dan kelompok dengan mengikutsertakan orang-orang dalam
wilayah geografi, atau berbagi mengenai kepentingan umum, untuk mengembangkan
dengan sukarela tempat pembelajaran, tindakan, dan kesempatan refleksi yang
ditentukan oleh pribadi, sosial, ekonomi, dan kebutuhan politik mereka. Dengan
demikian, pendekatan pendidikan berbasis masyarakat adalah salah satu
pendekatan yang menganggap masyarakat sebagai agen sekaligus tujuan, melihat
pendidikan sebagai proses dan menganggap masyarakat sebagai fasilitator yang
dapat menyebabkan perubahan menjadi lebih balk. Dari sini dapat ditarik
pemahaman bahwa pendidikan dianggap berbasis masyarakat jika tanggung jawab
perencanaan hingga pelaksanaan berada di tangan masyarakat. Pendidikan berbasis
masyarakat bekerja atas asumsi bahwa setiap masyarakat secara fitrah telah
dibekali potensi untuk mengatasi masalahnya sendiri. Baik masyarakat kota
ataupun desa, mereka telah memiliki potensi untuk mengatasi masalah mereka
sendiri berdasarkan sumber daya vang mereka miliki serta dengan memobilisasi
aksi bersama untuk memecahkan masalah yang mereka hadapi.
Dalam
UU sisdiknas no 20/2003 pasal 55 tentang Pendidikan Berbasis Masyarakat
disebutkan sebagai berikut :
1. Masyarakat berhak
menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan
nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk
kepentingan masyarakat.
2. Penyelenggara pendidikan berbasis
masyarakat mengembangkan dan melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan,
serta manajemen dan pendanannya sesuai dengan standar nasional pendidikan.
3. Dana penyelenggaraan pendidikan
berbasis masyarakat dapat bersumber-dari penyelenggara, masyarakat, Pemerintah,
pemerintah daerah dan/atau sumber lain yang tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan-yang berlaku.
4. Lembaga pendidikan berbasis
masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain
secara adil dan merata dari Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
5. Ketentuan mengenai peran serta
masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4)
diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Dari kutipan di atas nampak bahwa pendidikan berbasis
masyarakat dapat diselenggarakan dalam jalur formal maupun nonformal, serta
dasar dari pendidikan berbasis masyarakat adalah kebutuhan dan kondisi
masyarakat, serta masyarakat diberi kewenangan yang luas untuk mengelolanya.
Oleh karena itu dalam menyelenggarakannya perlu memperhatikan tujuan yang
sesuai dengan kepentingan masyarakat setempat.
Untuk itu Tujuan dari pendidikan nonformal berbasis
masyarakat dapat mengarah pada isu-isu masyarakat yang khusus seperti pelatihan
karir, perhatian terhadap lingkungan, budaya dan sejarah etnis, kebijakan
pemerintah, pendidikan politik dan kewarganegaraan, pendidikan keagamaan,
pendidikan bertani, penanganan masalah kesehatan serti korban narkotika,
HIV/Aids dan sejenisnya. Sementara itu lembaga yang memberikan pendidikan
kemasyarakat bisa dari kalangan bisnis dan industri, lembaga-lembaga berbasis
masyarakat, perhimpunan petani, organisi kesehatan, organisasi pelayanan
kemanusiaan, organisi buruh, perpustakaan, museum, organisasi persaudaraan sosial,
lembaga-lembaga keagamaan dan lain-lain .
2. Pendidikan Nonformal Berbasis
Masyarakat
Model
pendidikan berbasis masyarakat untuk konteks Indonesia kini semakin diakui
keberadaannya pasca pemberlakuan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Keberadaan lembaga ini diatur pada 26 ayat 1 s/d 7. jalur yang
digunakan bisa formal dan atau nonformal.
Dalam
hubungan ini, pendidikan nonformal berbasis masyarakat adalah pendidikan
nonformal yang diselenggarakan oleh warga masyarakat yang memerlukan layanan
pendidikan dan berfungsi sebagai pengganti, penambah dan/pelengkap pendidikan
formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Pendidikan nonformal
berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pengetahuan dan
keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian fungsional.
Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia
dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan
keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan
serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta
didik. Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga
pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan masyarakat, majelis taklirn serta
satuan pendidikan yang sejenis.
Dengan demikian, nampak bahwa pendidikan nonformal pada dasarnya lebih cenderung mengarah pada pendidikan berbasis masyarakat yang merupakan sebuah proses dan program, yang secara esensial, berkembangnya pendidikan nonformal berbasis masyarakat akan sejalan dengan munculnya kesadaran tentang bagaimana hubungan-hubungan sosial bisa membantu pengembangan interaksi sosial yang membangkitkan concern terhadap pembelajaran berkaitan dengan masalah yang dihadapi masyarakat dalam kehidupan sosial, politik,, lingkungan, ekonomi dan faktor-faktor lain. Sementara pendidikan berbasis masyarakat sebagai program harus berlandaskan pada keyakinan dasar bahwa partisipasi aktif dari warga masyarakat adalah hal yang pokok. Untuk memenuhinya, maka partisipasi warga harus didasari kebebasan tanpa tekanan dalam kemampuan berpartisipasi dan keingin berpartisipasi.
Dengan demikian, nampak bahwa pendidikan nonformal pada dasarnya lebih cenderung mengarah pada pendidikan berbasis masyarakat yang merupakan sebuah proses dan program, yang secara esensial, berkembangnya pendidikan nonformal berbasis masyarakat akan sejalan dengan munculnya kesadaran tentang bagaimana hubungan-hubungan sosial bisa membantu pengembangan interaksi sosial yang membangkitkan concern terhadap pembelajaran berkaitan dengan masalah yang dihadapi masyarakat dalam kehidupan sosial, politik,, lingkungan, ekonomi dan faktor-faktor lain. Sementara pendidikan berbasis masyarakat sebagai program harus berlandaskan pada keyakinan dasar bahwa partisipasi aktif dari warga masyarakat adalah hal yang pokok. Untuk memenuhinya, maka partisipasi warga harus didasari kebebasan tanpa tekanan dalam kemampuan berpartisipasi dan keingin berpartisipasi.
3. Pendidikan Berbasis Masyarakat untuk
pembangunan masyarakat
Dalam
upaya mendorong pada terwujudnya pendidikan nonformal berbasis masyarakat, maka
diperlukan upaya untuk menjadikan pendidikan tersebut sebagai bagian dari upaya
membangun masyarakat. Dalam hal ini diperlukan pemahaman yang tepat akan
kondisi dan kebutuhan masyarakat. Pembangunan/pengembangan masyarakat, khususnya
masyarakat desa merupakan suatu fondasi penting yang dapat memperkuat dan
mendorong makin meningkatnya pembangunan bangsa, oleh karena itu pelibatan
masyarakat dalam mengembangkan pendidikan nonformal dapat menjadi suatu yang
memberi makna besar bagi kelancaran pembangunan. Pengembangan masyarakat,
pengembangan sosial atau pembangunan masyarakat sebagai istilah-istilah yang
dimaksud dalam pembahasan ini mengandung arti yang bersamaan.
Pengembangan
masyarakat, terutama di daerah pedesaan, bila dibandingkan dengan daerah
perkotaan jelas menunjukan suatu ketimpangan, sehingga memerlukan upaya yang
lebih keras untuk mencoba lebih seimbang diantara keduanya. pengembangan
masyarakat, pengembangan sosial atau pembangunan masyarakat tersebut
menunjukkan suatu upaya yang disengaja dan diorganisasi untuk memajukan manusia
dalam seluruh aspek kehidupannya yang dilakukan di dalam satu kesatuan Wilayah.
Kesatuan wilayah itu bisa terdiri dari daerah pedesaan atau daerah perkotaan.
Upaya
pembangunan ini bertujuan untuk terjadinya perubahan kualitas kehidupan manusia
dan kualitas wilayahnya atau lingkungannya ke arah yang lebih baik. Agar
pembangunan itu berhasil, maka pembangunan haruslah menjadi jawaban yang wajar
terhadap kebutuhan perorangan, masyarakat dan Pemerintah baik di tingkat desa,
daerah ataupun di tingkat nasional. Dengan demikian maka isi, kegiatan dan
tujuan pengembangan masyarakat akan erat kaitannya dengan pembangunan nasional.
TR
Batten menjelaskan bahwa pengembangan masyarakat ialah proses yang dilakukan
oleh masyarakat dengan usaha untuk pertama-tama mendiskusikan dan menentukan
kebutuhan atau keinginan mereka, kemudian merencanakan dan melaksanakan secara
bersama usaha untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan mereka itu (Batten, 1961).
Dalam proses tersebut maka keterlibatan masyarakat dapat digambarkan sebagai
berikut. Tahap pertama, dengan atau tanpa bimbingan fihak lain, masyarakat
melakukan identifikasi masalah, kebutuhan, keinginan dan potensi-potensi yang
mereka miliki. Kemudian mereka mendiskusikan kebutuhan-kebutuhan mereka,
menginventarisasi kebutuhan-kebutuhan itu berdasarkan tingkat keperluan,
kepentingan dan mendesak tidaknya usaha pemenuhan kebutuhan. Dalam identifikasi
kebutuhan itu didiskusikan pula kebutuhan perorangan, kebutuhan masyarakat dan
kebutuhan Pemerintah di daerah itu. Mereka menyusun urutan prioritas kebutuhan
itu sesuai dengan sumber dan potensi yang terdapat di daerah mereka. Tahap
kedua, mereka menjajagi kemungkinan-kemungkinan usaha atau kegiatan yang dapat
mereka lakukan, untuk memenuhi kebutuhan itu. apakah sesuai dengan
sumber-sumber yang ada dan dengan mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan
hambatan yang akan dihadapi dalam kegiatan itu. Selanjutnya mereka menentukan
pilihan kegiatan atau usaha yang akan dilakukan bersama. Tahap ketiga, mereka
menentukan rencana kegiatan, yaitu program yang akan dilakukan untuk memenuhi
kebutuhan mereka. Ini dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa memiliki dikalangan
masyarakat. Rasa pemilikan bersama itu menjadi prasarat timbulnya rasa tanggung
jawab bersama untuk keberhasilan usaha itu. Tahap keempat ialah melaksanakan
kegiatan. Dalam tahap keempat ini motivasi perlu dilakukan. Di samping itu
komunikasi antara pelaksana terus dibina. Dalam tahap pelaksanaan ini akan
terdapat masalah yang menuntut pemecahan. Pemecahan masalah itu dilakukan
setelah dirundingkan bersama oleh masyarakat dan para pelaksana. Tahap kelima,
penilaian terhadap proses pelaksanaan kegiatan, terhadap hasil kegiatan dan
terhadap pengaruh kegiatan itu. Untuk kegiatan yang berkelanjutan, hasil
evaluasi itu dijadikan salah satu masukan untuk tindak lanjut kegiatan atau
untuk bahan penyusunan program kegiatan baru. Semua tahapan kegiatan itu
dilakukan oleh masyarakat secara partisipatif. Pengembangan masyarakat yang
bertumpu pada kebutuhan dan tujuan pembangunan nasional itu memiliki dua jenis
tujuan. Tujuan-tujuan itu dapat digolongkan kepada tujuan umum dan tujuan
khusus. Tujuan umum dengan sendirinya mengarah dan bermuara pada tujuan
nasional, sedangkan tujuan khusus yaitu perubahan-perubahan yang dapat diukur
yang terjadi pada masyarakat. Perubahan itu menyangkut segi kualitas kehidupan
masyarakat itu sendiri setelah melalui program pengembangan masyarakat.
Perubahan itu berhubungan dengan peningkatan taraf hidup warga masyarakat dan
keterlibatannya dalam pembangunan.
Dengan
kata lain tujuan khusus itu menegaskan adanya perubahan yang dicapai setelah
dilakukan kegiatan bersama, yaitu berupa perubahan tingkah laku warga
masyarakat. Perubahan tingkah laku ini pada dasarnya merupakan hasil edukasi
dalam makna yang wajar dan luas, yaitu adanya perubahan pengetahuan,
ketrampilan, sikap dan aspirasi warga masyarakat serta adanya penerapan tingkah
laku itu untuk peningkatan kehidupan mereka dan untuk peningkatan partisipasi
dalam pembangunan masyarakat. Partisipasi dalam pembangunan masyarakat itu bisa
terdiri dari partisipasi buah fikiran, harta benda, dan tenaga (Anwas Iskandar,
1975). Dalam makna yang lebih luas maka tujuan pengembangan masyarakat pada
dasarnya adalah pengembangan demokratisasi, dinamisasi dan modernisasi
(Suryadi, 1971).
Prinsip-prinsip
pengembangan masyarakat yang dikemukakan di sini ialah keterpaduan,
berkelanjutan, keserasian, kemampuan sendiri (swadaya dan gotong royong), dan
kaderisasi. Prinsip keterpaduan memberi tekanan bahwa kegiatan pengembangan
masyarakat didasarkan pada program-program yang disusun oleh masyarakat dengan
bimbingan dari lembaga-lembaga yang mempunyai hubungan tugas dalam pembangunan
masyarakat. Prinsip berkelanjutan memberi arti bahwa kegiatan pembangunan
masyarakat itu tidak dilakukan sekali tuntas tetapi kegiatannya terus menerus
menuju ke arah yang lebih sempurna. Prinsip keserasian diterapkan pada
program-program pembangunan masyarakat yang memperhatikan kepentingan
masyarakat dan kepentingan Pemerintah. Prinsip kemampuan sendiri berarti dalam
melaksanakan kegiatan dasar yang menjadi acuan adalah kemampuan yang dimiliki
oleh masyarakat sendiri.
Prinsip-prinsip di atas memperjelas makna bahwa program-program pendidikan nonformal berbasis masyarakat harus dapat mendorong dan menumbuhkan semangat pengembangan masyarakat, termasuk keterampilan apa yang harus dijadikan substansi pembelajaran dalam pendidikan nonformal. Oleh karena itu, upaya untuk menjadikan pendidikan nonformal sebagai bagian dari kegiatan masyarakat memerlukan upaya-upaya yang serius agar hasil dari pendidikan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dalam upaya peningkatan kualitas hidup mereka
Dalam hal ini perlu disadiri bahwa pengembangan masyarakat itu akan lancar apabila di masyarakat itu telah berkembang motivasi untuk membangun serta telah tumbuh kesadaran dan semangat mengembangkan diri ditambah kemampuan serta ketrampilan tertentu yang dapat menopangnya, dan melalui kegiatan pendidikan, khususnya pendidikan nonformal diharapkan dapat tumbuh suatu semangat yang tinggi untuk membangun masyarakat desanya sendiri sabagai suatu kontribusi bagi pembangunan bangsa pada umumnya.
Prinsip-prinsip di atas memperjelas makna bahwa program-program pendidikan nonformal berbasis masyarakat harus dapat mendorong dan menumbuhkan semangat pengembangan masyarakat, termasuk keterampilan apa yang harus dijadikan substansi pembelajaran dalam pendidikan nonformal. Oleh karena itu, upaya untuk menjadikan pendidikan nonformal sebagai bagian dari kegiatan masyarakat memerlukan upaya-upaya yang serius agar hasil dari pendidikan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dalam upaya peningkatan kualitas hidup mereka
Dalam hal ini perlu disadiri bahwa pengembangan masyarakat itu akan lancar apabila di masyarakat itu telah berkembang motivasi untuk membangun serta telah tumbuh kesadaran dan semangat mengembangkan diri ditambah kemampuan serta ketrampilan tertentu yang dapat menopangnya, dan melalui kegiatan pendidikan, khususnya pendidikan nonformal diharapkan dapat tumbuh suatu semangat yang tinggi untuk membangun masyarakat desanya sendiri sabagai suatu kontribusi bagi pembangunan bangsa pada umumnya.
4.
Referensi
(http://ejurnal.uin-alauddin.ac.id/artikel/01%20Peranan%20Pendidikan%20Formal%20-%20Juanda.pdf)
Anas, Zulfikri,
Pendidikan dalam Budaya, http://fikrieanas.wordpress.com. Brain, Asian, Pengertian
Pendidikan, http://www.slideshare.net.
Cheng, Yin Cheong,
School Effectiveness and Schooll-Based Management: A Mechanism for Development,
Washington, The Palmer Press, 1996.
Duranti,
Alessandro, Linguistic Anthropology,
Melbourne, Cambridge University Press, 1997.
Harahap,
Pandapotan, Pendidian sebagai gejala
Kebudayaan http://vandha. word-press.com.
Nurkolis, Pendidikan
sebagai Investasi Jangka Panjang, http://researchengines.com.
Perez, Bertha, ed.,
Sociocultural Contexts of Language and Literacy, London, Lawrence Erlbaum
Associates, 2004.
Sanaky, Hujair,
A.H., Paradigma Pendidikan Islam,
Memangun Masyarakata Madani Indonesia, Yokyakarta, Safiria Insani dan MSI,
2003.
Semiawan, Conny,
“Kebijakan Pendidikan Dasar dan Menengah,” dalam Tilaar. Pendidikan untuk
Masrakat Indonesia Baru, Jakarta: PT Grasindo, 2002.
Soedijarto, Landasan dan Arah Pendidikan Nasional
Kita, Jakarta, Penerbit Buku Kompas,
2008.
Suyanto, Dinamika Pendidikan Nasional dalam Percaturan
Dunia Global, Jakarta, PSAP, Muhammadiyah, 2006.
(http://uharsputra.wordpress.com/pendidikan/pendidikan-nonformal/)
Faisal,
Sanapiah, (tt). Sosiologi Pendidikan, Usaha Nasional, Surabaya. Nasution, S.
(1983). Sosiologi Pendidikan,Jemmars, Bandung.
Soelaiman
Joesoef dan Slamet Santosa, (1981). Pendidikan Sosial, Usaha Nasional,Surabaya
Sudjana
SF, Djudju. (1983). Pendidikan Nonformal (Wawasan-Sejarah-Azas), Theme,
Bandung.
Tilaar, H.A.R (1997) Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Era Globalisasi, Grasindo, Jakarta, Cetakan Pertama
Tilaar, H.A.R (1997) Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Era Globalisasi, Grasindo, Jakarta, Cetakan Pertama