Monday, September 29, 2014

PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN DAN KETERLIBATAN MASYARAKAT



1.    Latar Belakang
Proses pendidikan merupakan upaya sadar manusia yang tidak pernah ada hentinya. Sebab bilamana manusia berhenti melakukan pendidikan, sulit dibayangkan apa yang akan terjadi pada sistem peradaban dan budaya manusia. Oleh karena itu, pemerintah maupun masyarakat berupaya untuk melakukan pendidikan dengan standar kualitas yang dinginkan untuk memberdayakan manusia. Sistem pendidikan yang di-bangun harus disesuaikan dengan tuntutan zamannya agar pedidikan da-pat menghasilkan outcome yang relevan dengan tuntutan zaman. Di sinilah peranan pemerintah sebagai pihak yang memiliki kewenangan dalam menentukan kebijakan pendidikan di Indonesia.
Dalam hal ini tentu saja kebijakan tersebut harus selalu memperhatikan nilai-nilai budaya yang dipegang teguh oleh pendukung budaya tempat pendidikan diselenggara-kan. Kebudayaan diwariskan dari generasi ke generasi dengan cara belajar. Menurut Sultan Takdir Alisjahbana kebudayaan adalah keseluruh-an gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakannya dengan belajar beserta keseluruhan dari hasil budi pekertinya. Tujuan Pendidikan yang digariskan dalam UU No. 20/2003 pasal 3 pada akhirnya adalah terbentuk-nya kemampuan dan watak seperti juga yang dirumuskan oleh UNESCO, to muold the character and mind of young generation. Kepribadian hanya dapat dibentuk melalui interaksi personal, proses meniru, proses pemahaman, toleransi dan berbagai  soft skill hanya dapat dikembangkan melalui apa yang disebut oleh Rogers1 dengan  helping relationship sebagai pembuka jalan  proses becoming. Arah, tujuan, atau sasaran yag diperhatikan dan dibina serta dijadikan pedoman dalam pelaksanaan segala aktivitas yang bersifat pendidikan harus memperhatikan aspek-aspek pendidikan sebagai gejala kebudayaan. 
Sumber daya manusia yang berpendidikan akan menjadi modal uta-ma pembangunan nasional, terutama untuk perkembangan ekonomi. Semakin banyak orang yang berpendidikan maka semakin mudah bagi suatu negara untuk membangun bangsanya. Hal ini terjadi karena dikuasainya keterampilan, ilmu pengetahuan dan teknologi oleh sumber daya manusia-nya sehingga pemerintah lebih mudah dalam menggerakkan pembangun-an nasional. Bangsa yang maju di dunia ini adalah bangsa yang memper-tahankan kekhasannya. Sebagaimana kita ketahui bahwa salah satu unsur kebudayaan adalah bahasa. Negara yang maju di dunia ini adalah negara yang memprioritaskan penggunaan  bahasa nasionalnya sebagai bahasa pengantar dalam dunia pendidikan sehingga peserta didik lebih leluasa mengembangkan kreativitasnya. Mereka menuangkan pikirannya, gaga-san-gagasannya dalam bentuk konsep dengan keyakinan yang pada akhir-nya menghasilkan suatu inovasi berupa penemuan. Peranan fungsi budaya dalam pendidikan sangat penting.
Pendidikan formal telah diselenggarakan di Indonesia yang tentu saja harus memperhatikan aspek-aspek budaya dalam penyajian materi pada setiap mata pelajaran. Keseluruhan mata pelajaran dalam pengajaran seharusnya disesuaikan dengan budaya Indonesia. Penemuan atau inovasi yang muncul hanya dapat terwujud bilamana menggali dari potensi yang ada atau mengutamakan kekhasan, ciri  khas atau budaya setempat. Oleh karena itu, proses pembudayaan pada anak didik atau siswa perlu dimak-simalkan terutama dengan melalui pendidikan formal
2.    Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, muncul masalah yang dapat dirumuskan sebagai berikut:
A.  Apakah pendidikan dan pembudayaan itu?
B.  Bagaimanakah fungsi budaya dalam pendidikan?
C.  Apa peranan pendidikan formal dalam proses pembudayaan?
D.  Bagaimana proses pembudayaan melalui pendikan formal?
E.  Bagaimana Peran Pendidikan Nonformal dalam pemberdayaan masyarakat?


3. Pembahasan
A.    Pendidikan dan Pembudayaan
Pendidikan dan Pembudayaan Menurut bahasa Yunani pendidikan berasal dari kata  pedagogi yaitu kata  paid artinya anak sedangkan  agogos artinya membimbing sehingga pedagogi dapat diartikan sebagai ilmu dan seni mengajar anak. Menurut UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta  didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan dan pengen-dalian diri. Kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran atau pelatihan agar peserta didik secara aktif dapat mengem-bangkan potensi dirinya supaya memiliki kekuatan spritual keagamaan, emosional, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.
Menurut R. Linton kebudayaan dapat dipandang sebagai konfigurasi tingkah laku yang dipel-ajari dan hasil tingkah laku yang dipelajari, unsur pembentuknya didu-kung dan diteruskan oleh anggota masyarakat lainnya. Jadi, pembudayaan harus melalui pendidikan apakah itu pendidikan melalui jalur formal atau nonformal. Suatu pandangan bahwa budaya adalah sesuatu yang dipelajari, diteruskan, disampaikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Selanjutnya tindakan manusia selalu dalam bentuk interaksi tatap muka dan tentu saja menggunakan bahasa sebagai sarana komuniaksi. Dalam pan-dangan ini budaya dimaksudkan menjelaskan bagaimana anak perkem-bangannya mengikuti pola-pola budaya pada orang yang memeliharanya. Anak akan tumbuh menjadi anggota budaya dari budaya yang dianut oleh orang tuanya.
Perolehan kebudayaan oleh manusia terjadi melalui proses yang disebut pendidikan. Dalam pengertian ini pendidikan adalah jalur mewa-riskan dan mewarisi kebudayaan. Akan  tetapi pewarisan melulu tidaklah cukup sebagai tujuan pendidikan dengan upaya pendidikan, kita perlu juga membuat anak-anak didik itu kreatif dan berinisiatif. Dalam hal ini tidak boleh lepas dari koridor pembudayaan. Dalam antropologi budaya dipelajari dan sebagai bagian karakteris-tik pola perilaku dalam kelompoknya. Budaya yang kita miliki telah dipelajari dari keluarga dan anggota lain dalam masyarakat yang seperti halnya bentuk materi yang berupa buku dan  program televisi. Kita tidak dilahirkan dengan kekosongan budaya tetapi dengan kemampuan memperoleh budaya itu dengan pengamatan, peniruan, coba dan mencoba. Pendidikan dan pembudayaan harus dimulai sejak dini pada anak-anak. Dalam hal ini bahasa yang sifatnya sopan dan santun pada anak sangat penting. Kita tidak boleh lupa pada pendidikan bahasa anak pada saat balita. Masih banyak orang tua yang masih mau bertengkar, menge-luarkan kata-kata kotor dan pedas, saling umpat di hadapan anaknya yang sedang tumbuh kembang. Dapat dibayangkan begitu banyak anak-anak sekarang yang walaupun baru berumur lima tahun bahkan di bawanya
sudah bisa mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas. Itulah sebabnya mulai sekarang kita harus menyadari apa yang pantas dan yang tidak pantas diucapkan di depan anak-anak. Kita seharusnya menggunakan kata sopan, santun dan yang baik menurut moral setiap saat berhadapan dengan anak. Hal ini merupakan salah satu proses pendidikan dan pem-budayaan dalam penggunaan bahasa.
B.     Fungsi Budaya dalam Pendidikan
Fungsi budaya merujuk pada sumbangan pendidikan pada peralihan dan perkembangan budaya pada tingkatan sosial yang berbeda. Pada tingkat individual pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan kreativitasnya, kesadaran estetis serta untuk bersosialiasi dengan norma-norma, nilai-nilai, dan keyakinan sosial yang baik. Orang yang berpendi-dikan diharapkan lebih mampu menghargai atau menghormati perbedaan dan pluralitas budaya sehingga memiliki sikap yang lebih terbuka ter-hadap keanekaragaman budaya. Dengan demikian, semakin banyak orang yang berpendidikan diharapkan akan lebih mudah terjadinya akulturasi budaya yang selanjutnya akan terjadi integrasi budaya nasional atau regional. Professor Kinosita menyarankan bahwa yang diperlukan di Indone-sia adalah pendidikan dasar dan bukan pendidikan yang canggih. Proses pendidikan pada pendidikan dasar setidaknya bertumpu pada empat pilar, yaitu:  lerning to know,  learning to do,  learning to be, dan  learning live together yang dapat dicapai melalui delapan kompetensi dasar, yaitu: membaca, menulis, mendengar, berbicara, menghitung, meneliti, menghafal, dan menghayal.9 Meskipun Indonesia terkeropos oleh arus global, pada dasar-nya kita juga tidak ingin anak-anak kelak tercabut dari akar budayanya dalam situasi global tersebut.10 Pendidikan membantu siswa mengembang-kan dirinya secara psikologis, sosial, fisik, dan membantu siswa mengem-bangkan potensinya semaksimal mungkin, sehingga mampu  survive  di tengah pergulatan global
C.     Peranan Pendidikan Formal dalam Proses Pembudayaan
Pendidikan bertujuan membentuk agar manusia dapat menunjukkan perilakunya sebagai mahluk yang berbudaya yang mampu bersosialisasi dalam masyarakatnya dan menyesuaikan diri dengan lingkungannya da-lam upaya mempertahankan kelangsungan hidup, baik secara pribadi, ke-lompok, maupun masyarakat secara keseluruhan. Sekolah atau pendidikan formal adalah salah satu sarana atau media dari proses pembudayaan media lainnya (keluarga dan institusi lainnya yang ada dalam masyarakat).
Dalam konteks inilah pendidikan disebut sebagai proses untuk memanu-siakan manusia (Dick Hartoko). Sejalan dengan itu kalangan antropolog dan ilmuwan sosial lainnya melihat bahwa pendidikan merupakan upaya untuk membudayakan dan men-sosialisasikan manusia sebagaimana yang kita kenal dengan enkulturasi, pembudayaan dan sosialisasi, proses mem-bentuk kepribadian dan perilaku seseorang anak menjadi anggota masya-rakat sehingga anak tersebut diakui keberadaannya oleh masyarakat yang bersangkutan. Budaya cocok pada anggota etnik kelompok yang kita pu-nyai. Kita biasa menyebut identitas budaya.
Daoed Joesoef memandang pendidikan sebagai bagian dari kebuda-yaan karena pendidikan adalah upaya memberikan pengetahuan dasar sebagai bekal hidup. Pengetahuan dasar sebagai bekal hidup yang dimak-sudkan di sini adalah kebudayaan. Dikatakan demikian karena kehidupan adalah keseluruhan dari keadaan diri kita, totalitas dari apa yang kita laku-kan sebagai manusia, yaitu sikap, usaha, dan kerja yang harus dilakukan oleh setiap orang, menetapkan suatu pendirian dalam tatanan kehidupan bermasyarakat yang menjadi ciri kehidupan manusia sebagai mahluk bio-sosial.
Pendidikan adalah upaya menanamkan sikap dan keterampilan pada anggota masyarakat agar mereka kelak mampu memainkan peranan sesuai dengan kedudukan dan peran sosial  masing-masing dalam masyarakat. Secara tidak langsung pola ini menjadi proses melestarikan suatu kebuda-yaan. Sejalan dengan ini Bertran Russel mengatakan pendidikan sebagai tatanan sosial kehidupan bermasyarakat yang berbudaya. Melalui pendi-dikan kita bisa membentuk suatu tatanam kehidupan bermasyarakat yang maju, modern, tenteram, dan damai berdasarkan nilai-nilai dan norma budaya.
Luaran pendidikan formal diharapkan memiliki sikap positif yang diwujudkan dalam bentuk perilaku yang religius, cekatan, terampil, dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang salah dan yang benar, menghargai semua hal yang menjadi bahagian kehidupan di alam ini termasuk segala bentuk perbedaan di antara sesama manusia. Memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan yang tepat pada saat yang cepat serta mampu mengembangkan potensi diri dalam upaya meningkatkan kualitas pribadi, keluarga, kelompok, agama, bangsa, dan negara. Semua ini merupakan unsur  pokok dalam proses pembentukan masyarakat yang sejahtera, survive, adil, makmur, dan penuh kedamaian.
Dalam mewujudkan hal ini para penyelengara pendidikan harus yakin bahwa program dan proses pembelajaran dapat menggiring siswa agar mampu mengunakan terhadap segala yang dimilikinya atau yang diperoleh selama proses belajar.  Sehingga bermanfaat dalam kehidupan selanjutnya baik kehidupan akademis maupun kehidupan sehari-hari.  Kedua hal ini tidak dapat dipisahkan. Seharusnya program dan proses pembelajaran tidak membuat dikotomi antara keduanya. Semua ini menunjukkan bahwa pendidikan adalah upaya membangun budaya suatu masyarakat sehingga tercipta kehidupan modern, maju dan harmoni yang didasari oleh nilai-nilai budaya yang diyakini bersama oleh suatu masya-rakat.
D.    Proses Pembudayaan Melalui Pendidikan Formal
Proses pembudayaan (enkulturasi) adalah upaya membentuk peri-laku dan sikap seseorang yang dilandasi oleh ilmu pengetahuan, keteram-pilan sehingga setiap individu dapat memainkan perannya masing-masing. Dengan demikian, ukuran pembelajaran dalam konsep enlkulturasi adalah perubahan perilaku siswa. Hal ini sejalan dengan empat pilar pendidikan yang dikemukakan oleh UNESCO. 
Belajar bukan hanya untuk tahu (to know) tetapi juga menggiring siswa untuk dapat mengaplikasikan pengetahuan yang diperoleh secara  langsung dalam kehidupan nyata belajar untuk membangun jati diri  (to do), dan membentuk sikap hidup dalam kebersamaan yang harmoni (to live together). Untuk itu pembelajaran berlangsung secara konstruktivis (depelopmental) yang didasari oleh pemikiran bahwa setiap individu peserta didik merupakan bibit potensial yang mampu berkembang secara mandiri. Tugas pendidikan adalahmemotivasi agar setiap anak mengenali potensinya sedini mungkin dan menyediakan pelayanan yang sesuai dengan potensi yang dimiliki dan mengarahkan pada persiapan yang dihadapi terhadap tantangan ke depan.
Pendidikan mengarah pada pembentukan karakter, performa yang konkrit (observable) dan terukur (measurable) yang berkembang dalam tiga ranah kemampuan, yaitu: kognitif, psikomotor, dan afektif. Pengembangan ke-mampuan pada ketiga ranah tersebut  dilihat sebagai satu kesatuan yang saling melengkapi. Untuk menjamin kekonsistenan antara tujuan pendidikan dengan pembentukan manusia yang berbudaya (enkulturasi), perlu dirancang desain pembelajaran di sekolah yang tidak lepas dari kondisi kehidupan nyata antar dunia pendidikan dan dunia nyata terkait dengan hubungan sinergis. Dengan demikian, antara niali-nilai yang ditanamkan dengan pengetahuan akademis terkait dengan hubungan yang kontinum. Tidak satu pun dari komponen ilmu pengetahuan yang lepas dari nilai dan norma budaya. Wertsch mengemukakan bahwa dalam mengetahui se-suatu tidak dapat dipisahkan dari budaya yang memediasi dan men-transform tindakan ke pengetahuan
E.     Peran Pendidikan Nonformal dalam pemberdayaan masyarakat
Pendidikan berbasis masyarakat (communihy-based education) merupakan mekanisme yang memberikan peluang bagi setiap orang untuk memperkaya ilmu pengetahuan dan teknologi melalui pembelajaran seumur hidup. Kemunculan paradigma pendidikan berbasis masyarakat dipicu oleh arus besar modernisasi yang menghendaki terciptanya demokratisasi dalam segala dimensi kehidupan manusia, termasuk di bidang pendidikan. Mau tak mau pendidikan harus dikelola secara desentralisasi dengan memberikan tempat seluas-luasnya bagi partisipasi masyarakat.
Sebagai implikasinya, pendidikan menjadi usaha kolaboratif yang melibatkan partisipasi masyarakat di dalamnva. Partisipasi pada konteks ini berupa kerja sama antara warga dengan pemerintah dalam merencanakan, melaksanakan, menjaga dan mengembangkan aktivitas pendidikaan. Sebagai sebuah kerja sama, maka masvarakat diasumsi mempunyai aspirasi yang harus diakomodasi dalam perencanaan dan pelaksanaan suatu program pendidikan.
1.      Konsep Pendidikan Berbasis Masyarakat
Pendidikan berbasis masyarakat merupakan perwujudan demokratisasi pendidikan melalui perluasan pelayanan pendidikan untuk kepentingan masyarakat. Pendidikan berbasis masyarakat menjadi sebuah gerakan penyadaran masyarakat untuk terus belajar sepanjang hayat dalam mengsi tantangan kehidupan yang berubah-ubah. Secara konseptual, pendidikan berbasis masyarakat adalah model penyelenggaraan pendidikan yang bertumpu pada prinsip “dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat”. Pendidikan dari masyarakat artinya pendidik memberikan jawaban atas kebutuhan masyarakat. pendidikan oleh masyarakat artinya masyarakat ditempatkan sebagai subyek/pelaku pendidikan, bukan objek pendidikan. Pada konteks ini, masyarakat dituntut peran dan partisipasi aktifnya dalam setiap program pendidikan. Adapun pengertian pendidikan untuk masyarakat artinya masyarakat diikutsertakan dalam semua program yang dirancang untuk menjawab kebutullan mereka. Secara singkat dikatakan, masyarakat perlu diberdayakan, diberi Peluang dan kebebasan untuk merddesain, merencanakan, membiayai, mengelola dan menilai sendiri apa yang diperlukan secara spesifik di dalam, untuk dan oleh masyarakat sendiri.
Di dalam Undang-undang no 20/2003 pasal 1 ayat 16, arti dari pendidikan berbasis masyarakat adalah penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat. Dengan demikian nampak bahwa pendidikan berbasis masyarakat pada dasarnya merupakan suatu pendidikan yang memberikan kemandirian dan kebebasan pada masyarakat untuk menentukan bidang pendidikan yang sesuai dengan keinginan masyarakat itu sendiri.
pendidikan berbasis masyarakat adalah sebuah proses yang didesain untuk memperkaya kehidupan individual dan kelompok dengan mengikutsertakan orang-orang dalam wilayah geografi, atau berbagi mengenai kepentingan umum, untuk mengembangkan dengan sukarela tempat pembelajaran, tindakan, dan kesempatan refleksi yang ditentukan oleh pribadi, sosial, ekonomi, dan kebutuhan politik mereka. Dengan demikian, pendekatan pendidikan berbasis masyarakat adalah salah satu pendekatan yang menganggap masyarakat sebagai agen sekaligus tujuan, melihat pendidikan sebagai proses dan menganggap masyarakat sebagai fasilitator yang dapat menyebabkan perubahan menjadi lebih balk. Dari sini dapat ditarik pemahaman bahwa pendidikan dianggap berbasis masyarakat jika tanggung jawab perencanaan hingga pelaksanaan berada di tangan masyarakat. Pendidikan berbasis masyarakat bekerja atas asumsi bahwa setiap masyarakat secara fitrah telah dibekali potensi untuk mengatasi masalahnya sendiri. Baik masyarakat kota ataupun desa, mereka telah memiliki potensi untuk mengatasi masalah mereka sendiri berdasarkan sumber daya vang mereka miliki serta dengan memobilisasi aksi bersama untuk memecahkan masalah yang mereka hadapi.
Dalam UU sisdiknas no 20/2003 pasal 55 tentang Pendidikan Berbasis Masyarakat disebutkan sebagai berikut :
1. Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat.
2. Penyelenggara pendidikan berbasis masyarakat mengembangkan dan melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta manajemen dan pendanannya sesuai dengan standar nasional pendidikan.
3. Dana penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dapat bersumber-dari penyelenggara, masyarakat, Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau sumber lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan-yang berlaku.
4. Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
5. Ketentuan mengenai peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Dari kutipan di atas nampak bahwa pendidikan berbasis masyarakat dapat diselenggarakan dalam jalur formal maupun nonformal, serta dasar dari pendidikan berbasis masyarakat adalah kebutuhan dan kondisi masyarakat, serta masyarakat diberi kewenangan yang luas untuk mengelolanya. Oleh karena itu dalam menyelenggarakannya perlu memperhatikan tujuan yang sesuai dengan kepentingan masyarakat setempat.
Untuk itu Tujuan dari pendidikan nonformal berbasis masyarakat dapat mengarah pada isu-isu masyarakat yang khusus seperti pelatihan karir, perhatian terhadap lingkungan, budaya dan sejarah etnis, kebijakan pemerintah, pendidikan politik dan kewarganegaraan, pendidikan keagamaan, pendidikan bertani, penanganan masalah kesehatan serti korban narkotika, HIV/Aids dan sejenisnya. Sementara itu lembaga yang memberikan pendidikan kemasyarakat bisa dari kalangan bisnis dan industri, lembaga-lembaga berbasis masyarakat, perhimpunan petani, organisi kesehatan, organisasi pelayanan kemanusiaan, organisi buruh, perpustakaan, museum, organisasi persaudaraan sosial, lembaga-lembaga keagamaan dan lain-lain .
2.      Pendidikan Nonformal Berbasis Masyarakat
Model pendidikan berbasis masyarakat untuk konteks Indonesia kini semakin diakui keberadaannya pasca pemberlakuan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Keberadaan lembaga ini diatur pada 26 ayat 1 s/d 7. jalur yang digunakan bisa formal dan atau nonformal.
Dalam hubungan ini, pendidikan nonformal berbasis masyarakat adalah pendidikan nonformal yang diselenggarakan oleh warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan dan berfungsi sebagai pengganti, penambah dan/pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian fungsional. Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik. Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan masyarakat, majelis taklirn serta satuan pendidikan yang sejenis.
Dengan demikian, nampak bahwa pendidikan nonformal pada dasarnya lebih cenderung mengarah pada pendidikan berbasis masyarakat yang merupakan sebuah proses dan program, yang secara esensial, berkembangnya pendidikan nonformal berbasis masyarakat akan sejalan dengan munculnya kesadaran tentang bagaimana hubungan-hubungan sosial bisa membantu pengembangan interaksi sosial yang membangkitkan concern terhadap pembelajaran berkaitan dengan masalah yang dihadapi masyarakat dalam kehidupan sosial, politik,, lingkungan, ekonomi dan faktor-faktor lain. Sementara pendidikan berbasis masyarakat sebagai program harus berlandaskan pada keyakinan dasar bahwa partisipasi aktif dari warga masyarakat adalah hal yang pokok. Untuk memenuhinya, maka partisipasi warga harus didasari kebebasan tanpa tekanan dalam kemampuan berpartisipasi dan keingin berpartisipasi.

3.      Pendidikan Berbasis Masyarakat untuk pembangunan masyarakat
Dalam upaya mendorong pada terwujudnya pendidikan nonformal berbasis masyarakat, maka diperlukan upaya untuk menjadikan pendidikan tersebut sebagai bagian dari upaya membangun masyarakat. Dalam hal ini diperlukan pemahaman yang tepat akan kondisi dan kebutuhan masyarakat. Pembangunan/pengembangan masyarakat, khususnya masyarakat desa merupakan suatu fondasi penting yang dapat memperkuat dan mendorong makin meningkatnya pembangunan bangsa, oleh karena itu pelibatan masyarakat dalam mengembangkan pendidikan nonformal dapat menjadi suatu yang memberi makna besar bagi kelancaran pembangunan. Pengembangan masyarakat, pengembangan sosial atau pembangunan masyarakat sebagai istilah-istilah yang dimaksud dalam pembahasan ini mengandung arti yang bersamaan.
Pengembangan masyarakat, terutama di daerah pedesaan, bila dibandingkan dengan daerah perkotaan jelas menunjukan suatu ketimpangan, sehingga memerlukan upaya yang lebih keras untuk mencoba lebih seimbang diantara keduanya. pengembangan masyarakat, pengembangan sosial atau pembangunan masyarakat tersebut menunjukkan suatu upaya yang disengaja dan diorganisasi untuk memajukan manusia dalam seluruh aspek kehidupannya yang dilakukan di dalam satu kesatuan Wilayah. Kesatuan wilayah itu bisa terdiri dari daerah pedesaan atau daerah perkotaan.
Upaya pembangunan ini bertujuan untuk terjadinya perubahan kualitas kehidupan manusia dan kualitas wilayahnya atau lingkungannya ke arah yang lebih baik. Agar pembangunan itu berhasil, maka pembangunan haruslah menjadi jawaban yang wajar terhadap kebutuhan perorangan, masyarakat dan Pemerintah baik di tingkat desa, daerah ataupun di tingkat nasional. Dengan demikian maka isi, kegiatan dan tujuan pengembangan masyarakat akan erat kaitannya dengan pembangunan nasional.
TR Batten menjelaskan bahwa pengembangan masyarakat ialah proses yang dilakukan oleh masyarakat dengan usaha untuk pertama-tama mendiskusikan dan menentukan kebutuhan atau keinginan mereka, kemudian merencanakan dan melaksanakan secara bersama usaha untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan mereka itu (Batten, 1961). Dalam proses tersebut maka keterlibatan masyarakat dapat digambarkan sebagai berikut. Tahap pertama, dengan atau tanpa bimbingan fihak lain, masyarakat melakukan identifikasi masalah, kebutuhan, keinginan dan potensi-potensi yang mereka miliki. Kemudian mereka mendiskusikan kebutuhan-kebutuhan mereka, menginventarisasi kebutuhan-kebutuhan itu berdasarkan tingkat keperluan, kepentingan dan mendesak tidaknya usaha pemenuhan kebutuhan. Dalam identifikasi kebutuhan itu didiskusikan pula kebutuhan perorangan, kebutuhan masyarakat dan kebutuhan Pemerintah di daerah itu. Mereka menyusun urutan prioritas kebutuhan itu sesuai dengan sumber dan potensi yang terdapat di daerah mereka. Tahap kedua, mereka menjajagi kemungkinan-kemungkinan usaha atau kegiatan yang dapat mereka lakukan, untuk memenuhi kebutuhan itu. apakah sesuai dengan sumber-sumber yang ada dan dengan mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan hambatan yang akan dihadapi dalam kegiatan itu. Selanjutnya mereka menentukan pilihan kegiatan atau usaha yang akan dilakukan bersama. Tahap ketiga, mereka menentukan rencana kegiatan, yaitu program yang akan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Ini dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa memiliki dikalangan masyarakat. Rasa pemilikan bersama itu menjadi prasarat timbulnya rasa tanggung jawab bersama untuk keberhasilan usaha itu. Tahap keempat ialah melaksanakan kegiatan. Dalam tahap keempat ini motivasi perlu dilakukan. Di samping itu komunikasi antara pelaksana terus dibina. Dalam tahap pelaksanaan ini akan terdapat masalah yang menuntut pemecahan. Pemecahan masalah itu dilakukan setelah dirundingkan bersama oleh masyarakat dan para pelaksana. Tahap kelima, penilaian terhadap proses pelaksanaan kegiatan, terhadap hasil kegiatan dan terhadap pengaruh kegiatan itu. Untuk kegiatan yang berkelanjutan, hasil evaluasi itu dijadikan salah satu masukan untuk tindak lanjut kegiatan atau untuk bahan penyusunan program kegiatan baru. Semua tahapan kegiatan itu dilakukan oleh masyarakat secara partisipatif. Pengembangan masyarakat yang bertumpu pada kebutuhan dan tujuan pembangunan nasional itu memiliki dua jenis tujuan. Tujuan-tujuan itu dapat digolongkan kepada tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum dengan sendirinya mengarah dan bermuara pada tujuan nasional, sedangkan tujuan khusus yaitu perubahan-perubahan yang dapat diukur yang terjadi pada masyarakat. Perubahan itu menyangkut segi kualitas kehidupan masyarakat itu sendiri setelah melalui program pengembangan masyarakat. Perubahan itu berhubungan dengan peningkatan taraf hidup warga masyarakat dan keterlibatannya dalam pembangunan.
Dengan kata lain tujuan khusus itu menegaskan adanya perubahan yang dicapai setelah dilakukan kegiatan bersama, yaitu berupa perubahan tingkah laku warga masyarakat. Perubahan tingkah laku ini pada dasarnya merupakan hasil edukasi dalam makna yang wajar dan luas, yaitu adanya perubahan pengetahuan, ketrampilan, sikap dan aspirasi warga masyarakat serta adanya penerapan tingkah laku itu untuk peningkatan kehidupan mereka dan untuk peningkatan partisipasi dalam pembangunan masyarakat. Partisipasi dalam pembangunan masyarakat itu bisa terdiri dari partisipasi buah fikiran, harta benda, dan tenaga (Anwas Iskandar, 1975). Dalam makna yang lebih luas maka tujuan pengembangan masyarakat pada dasarnya adalah pengembangan demokratisasi, dinamisasi dan modernisasi (Suryadi, 1971).
Prinsip-prinsip pengembangan masyarakat yang dikemukakan di sini ialah keterpaduan, berkelanjutan, keserasian, kemampuan sendiri (swadaya dan gotong royong), dan kaderisasi. Prinsip keterpaduan memberi tekanan bahwa kegiatan pengembangan masyarakat didasarkan pada program-program yang disusun oleh masyarakat dengan bimbingan dari lembaga-lembaga yang mempunyai hubungan tugas dalam pembangunan masyarakat. Prinsip berkelanjutan memberi arti bahwa kegiatan pembangunan masyarakat itu tidak dilakukan sekali tuntas tetapi kegiatannya terus menerus menuju ke arah yang lebih sempurna. Prinsip keserasian diterapkan pada program-program pembangunan masyarakat yang memperhatikan kepentingan masyarakat dan kepentingan Pemerintah. Prinsip kemampuan sendiri berarti dalam melaksanakan kegiatan dasar yang menjadi acuan adalah kemampuan yang dimiliki oleh masyarakat sendiri.
Prinsip-prinsip di atas memperjelas makna bahwa program-program pendidikan nonformal berbasis masyarakat harus dapat mendorong dan menumbuhkan semangat pengembangan masyarakat, termasuk keterampilan apa yang harus dijadikan substansi pembelajaran dalam pendidikan nonformal. Oleh karena itu, upaya untuk menjadikan pendidikan nonformal sebagai bagian dari kegiatan masyarakat memerlukan upaya-upaya yang serius agar hasil dari pendidikan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dalam upaya peningkatan kualitas hidup mereka
Dalam hal ini perlu disadiri bahwa pengembangan masyarakat itu akan lancar apabila di masyarakat itu telah berkembang motivasi untuk membangun serta telah tumbuh kesadaran dan semangat mengembangkan diri ditambah kemampuan serta ketrampilan tertentu yang dapat menopangnya, dan melalui kegiatan pendidikan, khususnya pendidikan nonformal diharapkan dapat tumbuh suatu semangat yang tinggi untuk membangun masyarakat desanya sendiri sabagai suatu kontribusi bagi pembangunan bangsa pada umumnya.


4.    Referensi
(http://ejurnal.uin-alauddin.ac.id/artikel/01%20Peranan%20Pendidikan%20Formal%20-%20Juanda.pdf)
Anas, Zulfikri, Pendidikan dalam Budaya, http://fikrieanas.wordpress.com. Brain, Asian, Pengertian Pendidikan, http://www.slideshare.net.
Cheng, Yin Cheong, School Effectiveness and Schooll-Based Management: A Mechanism for Development, Washington, The Palmer Press, 1996.
Duranti, Alessandro,  Linguistic Anthropology, Melbourne, Cambridge University Press, 1997.
Harahap, Pandapotan,  Pendidian sebagai gejala Kebudayaan http://vandha. word-press.com.
Nurkolis, Pendidikan sebagai Investasi Jangka Panjang, http://researchengines.com.
Perez, Bertha, ed., Sociocultural Contexts of Language and Literacy, London, Lawrence Erlbaum Associates, 2004.
Sanaky, Hujair, A.H.,  Paradigma Pendidikan Islam, Memangun Masyarakata Madani Indonesia, Yokyakarta, Safiria Insani dan MSI, 2003.
Semiawan, Conny, “Kebijakan Pendidikan Dasar dan Menengah,” dalam Tilaar. Pendidikan untuk Masrakat Indonesia Baru, Jakarta: PT Grasindo, 2002.
Soedijarto,  Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita,  Jakarta, Penerbit Buku Kompas, 2008.
Suyanto,  Dinamika Pendidikan Nasional dalam Percaturan Dunia Global, Jakarta, PSAP, Muhammadiyah, 2006.

(http://uharsputra.wordpress.com/pendidikan/pendidikan-nonformal/)
Faisal, Sanapiah, (tt). Sosiologi Pendidikan, Usaha Nasional, Surabaya. Nasution, S. (1983). Sosiologi Pendidikan,Jemmars, Bandung.
Soelaiman Joesoef dan Slamet Santosa, (1981). Pendidikan Sosial, Usaha Nasional,Surabaya

Sudjana SF, Djudju. (1983). Pendidikan Nonformal (Wawasan-Sejarah-Azas), Theme, Bandung.
Tilaar, H.A.R (1997) Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Era Globalisasi, Grasindo, Jakarta, Cetakan Pertama
Peraturan Pemerintah no 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
Undang-undang no 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Undang-undang no 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional




 











     Ahmad Fauzi
 

No comments:

Post a Comment